Hotel Puncak Indah Bedugul di Desa Batunya, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan, terkesan horor karena saking lamanya tidak beroperasi. Namun, cerita berbeda dituturkan salah satu tukang kebun hotel, I Made Suparka (56).
Tukang kebun yang menyambi sebagai pedagang keripik di depan pintu masuk utama menuju Hotel Puncak Indah Bedugul hanya tersenyum bila disinggung soal mitos atau cerita horor di tempatnya bekerja itu.
"Ada tamu Rusia meninggal sama sekali tidak ada. Pekerja bangunan meninggal, itu tidak benar. Saya ikut membangun dari 1990," kata Suparka, Rabu (30/6/2022)
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Suparka merupakan warga Banjar Taman Tanda, Desa Batunya, Kecamatan Baturiti. Saat ini ia bekerja sebagai tukang kebun di hotel tersebut.
Selain itu, Suparka juga mengaku pernah bekerja di bidang akomodasi wisata sebagai house keeping di salah satu bungalow di Desa Candikuning sebelum bekerja sebagai tukang kebun di hotel Puncak Indah Bedugul.
Setiap hari ia bekerja mulai pukul 07.00 Wita sampai tengah hari. Selepas itu ia akan membantu istrinya berjualan keripik di depan pintu masuk utama menuju hotel.
Selama bertugas, ia menyebutkan tidak pernah mengalami pengalaman mistis atau hal aneh-aneh. Meski ia mengaku tidak berani kalau sampai melihat atau merasakan hal-hal yang selama ini diceritakan soal bangunan hotel tersebut.
"Astungkara tidak pernah. Berhubung tidak berani juga melihat. Mudah-mudahan tidak ada," tukasnya.
Sebagai orang yang pernah bekerja dari awal pembangunan gedung, Suparka mengaku agak heran juga dengan cerita-cerita yang bermunculan.
Ia juga menjelaskan bahwa bangunan hotel itu awalnya dibangun oleh pengusaha bidang pariwisata, I Wayan Purnayasa pada awal 1990, hingga dijual sekitar 1998 kepada Philip Prihasmoro dari Jakarta.
"Saya yang mengetahui dari awal hanya senyum saja kalau ada cerita-cerita seperti itu," ujarnya.
Soal viralnya bangunan dan areal hotel tersebut, menurut Suparka, tidak lepas dari aktivitas orang-orang yang keluar masuk bangunan. Padahal sebetulnya hal itu tidak diizinkan.
"Kalau siang tidak pernah ada orang masuk atau diizinkan masuk. Kalau siang ya. Waktu itu belum dipagar. Tapi kadang malam ada yang curi-curi masuk. Tapi kalau malam saya sudah pulang. Kan tidak ada yang jaga," ujarnya
Suparka mengatakan, saat ini ada enam orang tukang kebun yang tersisa. Semula ada 21 orang yang dipekerjakan untuk menjaga bangunan itu.
"Dulu pas propertinya seperti televisi, tempat tidur, dan properti lainnya masih, ada yang jaga. Dulu 21 orang bergantian. Sekarang cuma enam orang. (Tugas) siang aja," beber Suparka.
Karena itu, lanjut Suparka, pintu masuk utama bangunan hotel itu kini diberi pagar bambu. Tujuannya agar bangunan tersebut tidak dipakai kegiatan aneh-aneh.
Suparka mengaku tidak mengetahui apakah ke depannya hotel itu akan dioperasikan lagi atau masih sama seperti sekarang.
Namun, bagi Suparka, bila hotel itu beroperasi tentu ia berharap akan mendapatkan kesempatan bekerja sesuai dengan usianya sekarang.
"Kalau dibuka lagi, tapi umur saya ya sudah tidak mungkin, paling ingin jadi tukang kebun," tuturnya.
Sebagai tukang kebun, Suparka menyebutkan luas lahan tempat berdirinya hotel itu sekitar 5,3 hektar. Bangunan hotel itu terdiri dari 150 kamar. Satu kamar rata-rata luasnya 36 meter persegi. Bangunan hotel juga dibangun sebanyak tujuh lantai namun disesuaikan dengan kemiringan tanah.
(kws/kws)