Belasan warga Lombok Tengah mendatangi kantor DPRD NTB. Mereka mendesak perusahaan kayu PT Sadhana Arif Nusa yang mengelola kawasan hutan produksi di kawasan perbukitan di Kecamatan Praya Barat dan Kecamatan Praya Barat Daya untuk angkat kaki.
Sekretaris Aliansi Peduli Demokrasi asal Lombok Tengah Ahmad Halim mengatakan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) yang diterbitkan oleh Kementerian Kehutanan milik PT Sadhana diduga bermasalah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Halim, nomor induk berusaha (NIB) dalam IUPHHK-HTI sejak 2021 tidak pernah diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Perusahaan yang menggarap lahan seluas 700 hektare lebih di Desa Mangkung di Kecamatan Praya Barat dan tiga desa di Kecamatan Praya Barat Daya Kabul, Montong Sapah dan Pelambik.
"Jadi ada tiga NIB yang kami pegang milik PT Sadhana. Pertama tahun 2011 lalu di sana tidak tertera wilayah Lombok Tengah sebagai wilayah garapan. Nah sekarang NIB yang baru tahun 2021 itu wilayah kami dicaplok, dan NIB 2025 untuk perbaruan izin yang dikeluarkan itu kami anggap bodong," kata Halim saat hearing (dengar pendapat) di Sekretariat DPRD NTB, Kamis sore (4/12/2025).
Halim menjelaskan IUPHHK-HTI milik PT Sadhana tidak pernah dilakukan evaluasi oleh Pemprov NTB. Bahkan, kejanggalan penerbitan NIB yang diterbitkan di Jakarta pada 2011 dan Oktober 2025 lalu tidak ada perbedaan sama sekali.
"Tiga NIB yang dipegang. Pertama tahun 2011 itu wilayah kami belum masuk ke dalam kawasan HTI milik PT Sadhana. Kedua diterbitkan 2021 itu daerah kami dicaplok. Dan pada NIB terbaru bulan Oktober 2025 itu, NIB yang sama diterbitkan tapi kami curiga itu dijiplak karena tidak ada orang yang menandatangani NIB itu," ujarnya.
Anehnya, dalam dokumen NIB yang dipegang oleh perusahaan hutan tanaman industri (HTI) ini tidak dicantumkan siapa pemberi izin. Seharusnya izin mengelola hutan itu harus ditandatangani oleh Menteri Kehutanan (Menhut) Raja Juli Antoni.
"Harusnya Menteri Kehutanan Raja Juli yang menerbitkan, tapi dalam dokumen itu kosong. Ini kan mereka jiplak NIB tahun 2011 dengan mencantumkan wilayah kami," kata Halim.
Dokumen HTI yang dipegang pihak PT Sadhana, tidak dilengkapi dengan kolom risiko atas pengelolaan hutan. Ketiadaan itu membuat masyarakat muak.
"Dalam IUPHHK-HTI itu juga tidak pernah ada evaluasi selama 5 tahun. Dan anehnya seharusnya dalam NIB itu mereka harus tanam pohon seluas 779 hektare tapi yang ditanam baru 200 hektare. Kalau tidak mampu mending cabut dari kawasan hutan kami," kata Halim.
Atas temuan itu, ratusan masyarakat yang sudah diusir dalam kawasan hutan pada 2011 lalu meminta kepada perusahaan angkat kaki dari Lombok Tengah. Keberadaan perusahaan juga tidak memiliki dampak positif untuk masyarakat.
"Malah kami yang kena dampak. Tanaman cabai milik warga terendam di bawah kawasan hutan karena semua pohon yang kami tanam puluhan tahun lalu mereka tebang," katanya.
Halim pun memberikan tenggat waktu untuk perusahaan berkemas dari wilayah hutan Lombok Tengah. "Kami akan usir mereka tanggal 10 Desember. Kami ke sini agar DPRD dan Pemprov NTB memberikan rekomendasi pencabutan izin perusahaan ini. Kalau tidak kita akan pagari lahan ini," tegas Halim.
Menanggapi itu, Kepala Bidang Planologi dan Produksi Hutan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) NTB Burhan Bono mengaku akan mengkaji semua tuntutan masyarakat.
Adanya dugaan pemerintah NTB tidak pernah mengevaluasi usaha PT Sadhana di Lombok Tengah pun dibantah oleh Burhan. Dia bilang, pemerintah tetap melakukan evaluasi berkala tiap 5 tahun.
"Kita kan tetap evaluasi nanti. Izinnya kan tahun 2011 kan evaluasinya per lima tahun. Kalau yang izin tahun 2021 ke atas rutin kita evaluasi," ungkap Burhan.
Burhan mengaku berdasarkan dokumen IUPHHK-HTI yang dapat diterbitkan tahun 2011 atau sekarang dikenal dengan Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan (PBPHH), PT Sadhana mengelola hutan seluas 4.100 hektare di Lombok Timur, Lombok Utara dan Lombok Tengah.
Khusus di Lombok Tengah, PT Sadhana diberikan mengelola hutan seluas 700 hektare lebih di empat desa. Sejak tahun 2011, perusahaan yang menyuplai kayu untuk kebutuhan open tembakau itu masih dilakukan hingga tahun 2025.
"Aktivitas mereka masih. Intinya kami datang kemari juga menampung masukan dari masyarakat. Kami akan sampaikan ke kementerian," katanya.
Kendati demikian, jika ditemukan pelanggaran dugaan penjiplakan dokumen lama ke dokumen baru sesuai apa yang disampaikan oleh masyarakat akan menjadi catatan untuk dilaporkan ke kementerian.
"Kalau ada pelanggaran? Kan tergantung pelanggarannya, bisa sampai ke pencabutan izin. Artinya ke depan diskusikan dengan DPRD dan kami siap menampung seluruh persoalan dan akan sampaikan ke Pak Menteri (Raja Juli) nanti," tandas Burhan.
Anggota DPRD Dari Dapil VIII Lombok Tengah Megawati Lestari mengatakan akan menampung semua keluhan masyarakat. Dia juga akan mengecek seluruh dokumen PT Sadhana yang sudah bertahun-tahun mengelola kawasan hutan produksi di daerahnya.
"Kami bersama masyarakat intinya. Apa pun itu kami akan lakukan demi masyarakat," ungkap politikus Golkar itu.
Simak Video "Video: Hamdan Kasim Jadi Tersangka Gratifikasi Uang 'Siluman' Pokir DPRD NTB"
[Gambas:Video 20detik]
(hsa/hsa)











































