Pengelola Hotel di Senggigi Minta Transparansi soal Penyaluran Royalti Musik

Pengelola Hotel di Senggigi Minta Transparansi soal Penyaluran Royalti Musik

M Zahiruddin - detikBali
Kamis, 14 Agu 2025 18:23 WIB
General Manager (GM) Aruna Hotel, Yeyen Henriawan, saat ditemui di Lombok Barat. Kamis (14/8/2025). (Foto: M Zahiruddin/detikBali)
General Manager (GM) Aruna Hotel, Yeyen Henriawan, saat ditemui di Lombok Barat. Kamis (14/8/2025). (Foto: M Zahiruddin/detikBali)
Lombok Barat -

Pengelola hotel di Senggigi, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), meminta transparansi terkait penyaluran royalti musik oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Pengusaha menilai penagihan pembayaran lisensi musik itu belum jelas dan minim sosialisasi.

General Manager (GM) Aruna Senggigi Resort & Convention, Yeyen Henriawan, mengungkapkan dirinya tidak keberatan membayar royalti demi menghargai karya para musisi. Namun, ia menekankan perlunya aturan yang lebih rinci, transparan, dan adil bagi pelaku usaha perhotelan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kami setuju memberikan royalti ke musisi, tapi peraturan perundangannya harus benar-benar didetailkan lagi. Misalnya, dasar perhitungan jumlah kamar itu seperti apa? Hotel kan tidak selalu penuh, okupansi naik turun," ujar Yeyen saat ditemui detikBali di Lombok Barat, Kamis (14/8/2025).

Yeyen menilai dasar perhitungan royalti yang mengacu pada jumlah kamar tidak sesuai. Ia mencontohkan fasilitas televisi (TV) di kamar Hotel Aruna yang menggunakan layanan berbayar. Menurutnya, jika tamu hotel memutar musik melalui TV itu, maka hak cipta musik yang diputar sudah termasuk dalam biaya layanan tersebut.

ADVERTISEMENT

"TV yang digunakan memutar musik di kamar, kami pakai provider dan kami bayar. Ini kan masih sangat abu-abu sekali," kata Yeyen.

Menurutnya, tarif royalti musik yang dibebankan kepada pengelola hotel seharusnya realistis. Dia kembali mencontohkan Aruna Hotel yang memiliki 136 kamar justru dikenakan tarif minimum 150 kamar, sehingga pengelola hotel harus membayar sekitar Rp 6 juta per tahun.

"Kalau mau adil, harusnya disesuaikan. Bukan dipukul rata seperti itu," keluhnya.

Yeyen juga menyayangkan tidak adanya sosialisasi terkait regulasi pembayaran lisensi musik oleh LMKN. Ia mengaku belum mengetahui secara pasti daftar lagu yang masuk kategori berlisensi.

"Kami ingin tahu penyaluran dana tersebut ke mana. Harusnya kan terbuka, agar kami pihak hotel juga tahu dana tersebut benar-benar disalurkan. Begitu juga dengan dana cadangan 30 persen di LMKN. Itu buat apa? Harus jelas," imbuhnya.

Yeyen mengaku keberatan dengan pola penagihan royalti yang dilakukan LMKN. Termasuk dengan adanya ancaman sanksi somasi dan pidana jika tidak membayar.

"Tiba-tiba dapat surat penagihan, kemudian juga ada tindakan ancaman akan dibawa ke ranah hukum," pungkasnya.




(iws/nor)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads