Puluhan mahasiswa Sekolah Tinggi Pertanian (Stiper) Flores Bajawa, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur (NTT), mengikuti program magang di Arava, Israel. Mereka belajar pertanian modern di tengah lahan tandus menggunakan teknologi tinggi seperti irigasi tetes berbasis Internet of Things (IoT).
Sebanyak 15 mahasiswa telah menuntaskan program magang dan kembali ke Bajawa pada 20 Juli 2025. Sementara itu, sembilan mahasiswa lainnya diberangkatkan ke Israel pada Senin (28/7/2025) untuk mengikuti program serupa.
"Selama di Israel kurang lebih 10 bulan. Saya dan teman-teman menjalani kegiatan di bidang pertanian," ujar salah seorang peserta magang, Eustakia Bhoki, Rabu (30/7/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Untuk kegiatan sendiri kami diberi kesempatan untuk kuliah satu kali dalam seminggu," lanjut dia.
Eustakia menjelaskan, selama magang, ia dan rekan-rekannya mempelajari teknologi dan inovasi pertanian modern. Para petani di Israel, kata dia, rata-rata menggunakan mesin dan sistem pertanian canggih, meski kondisi lahan tergolong kering dan tandus.
"Kondisi lahannya kering, tanahnya tandus, dan letaknya itu di Arava," katanya.
Proses pengolahan lahan dimulai dengan pemberian pupuk organik yang dibiarkan melapuk sebelum ditanami. Penyiraman dilakukan menggunakan sistem irigasi tetes yang terhubung langsung ke internet.
"Penyiraman menggunakan irigasi tetes dengan menggunakan teknologi IOT yang terhubung langsung ke internet," jelas Eustakia.
Berbagai jenis tanaman hortikultura hingga buah-buahan tumbuh subur di wilayah tersebut. Hasilnya pun dinilai sangat melimpah.
"Untuk jenis tanaman macam-macam, ada horti, tanaman bunga, buah juga. Tanamannya luar biasa sehat dan produksi luar biasa," ungkapnya.
Ia juga mengenal lebih banyak varietas tanaman seperti tomat, redbary, blackberry, dan semangka. Di luar pembelajaran teknis, Eustakia juga menimba pengalaman sosial dengan berinteraksi bersama peserta magang dari berbagai negara.
"Dapat berinteraksi dan berkomunikasi dengan teman-teman dari berbagai negara. Belajar tentang sedikit budaya yang ada di Israel," katanya.
Tantangan di Lapangan
Peserta magang lainnya, Kristina Anelina Ngadha, menyebut program magang di Israel sebagai kesempatan emas bagi mahasiswa untuk belajar sistem pertanian gurun dan teknologi pertanian mutakhir.
"Saat pertama kali tiba, saya disambut hamparan lahan pertanian hijau yang tampak begitu kontras dengan lingkungan gurun yang gersang," ujar Kristina.
"Saya segera menyadari bahwa kunci dari semua ini adalah teknologi irigasi tetes, sistem hidroponik, dan kegigihan para petani serta ilmuwan yang bekerja di sini," sambungnya.
Kristina mengaku setiap hari mereka bekerja di ladang sejak fajar, mengamati dan belajar dari para petani lokal.
"Setiap hari dimulai saat fajar, saya dan teman-teman dari berbagai negara bekerja di ladang, mengamati bagaimana petani lokal mengelola lahan mereka secara efisien," jelasnya.
Mereka juga mempelajari pemilihan benih unggul, teknik pemupukan presisi, serta pengolahan air secara efektif. Cuaca panas menjadi salah satu tantangan utama selama magang.
"Tantangannya itu seperti cuaca panas dan pekerjaan yang terkadang melelahkan," ujar Kristina.
Selain praktik lapangan, mereka juga mengikuti pembelajaran intensif dari para ahli agronomi di kelas. Mereka diajarkan bagaimana inovasi dapat meningkatkan produktivitas pertanian secara berkelanjutan.
"Tinggal bersama mahasiswa dari berbagai budaya mengajarkan saya tentang keberagaman, kerja sama, dan bagaimana pertanian menyatukan kita semua," ujarnya.
Berlindung Saat Perang Israel-Iran
Magang berlangsung selama 11 bulan, dari Agustus 2024 hingga Juni 2025. Pada Juni 2025, saat pecah perang Israel-Iran selama 12 hari, para peserta magang sempat harus berlindung di tempat perlindungan bawah tanah atau selter setiap kali ada peringatan serangan.
"Selama perang kami diarahkan ke selter bila terjadi serangan, 15 menit sebelum serangan," ujar Eustakia.
Ia mengaku sempat gugup, namun kemudian terbiasa. Ia menyebut ladang tempat mereka magang bukan target serangan.
"Waktu awal gugup tapi setelah lama sudah biasa, dan beraktivitas di lahan seperti biasa," ujarnya.
Kristina menambahkan, dirinya merasa aman karena perlindungan di Israel sangat ketat.
"Kami semua aman-aman saja karena di sana perlindungannya cukup kuat. Sempat takut tapi karena pengamanan begitu ketat jadi rasa takutnya tidak terlalu," ujarnya.
"Setiap moshav (pemukiman) itu ada militer-militer yang jaga dan juga ada iron dome sebagai penangkis dari ratusan rudal yang ditembakkan dari Iran," tandasnya.
Ketua Stiper Flores Bajawa, Nicolaus Noywuli, menyampaikan pihaknya tetap berkomitmen mengirim mahasiswa untuk magang ke Israel. Program ini merupakan hasil kerja sama dengan Arava International Center of Agriculture Training (AICAT).
"Pertanian di Arava Israel menyediakan tempat untuk magang mahasiswa dengan teknologi tinggi," pungkas Nicolaus.
Simak Video "Video: Jawaban Setengah Bercanda Kiki Ucup soal Latihan Pestapora Malaysia"
[Gambas:Video 20detik]
(dpw/dpw)