Aktivis Perempuan Datangi DPRD NTB Tolak Peleburan DP3AP2KB

Aktivis Perempuan Datangi DPRD NTB Tolak Peleburan DP3AP2KB

Ahmad Viqi - detikBali
Rabu, 09 Apr 2025 23:03 WIB
Puluhan aktivis perempuan dan anak datangi Komisi V DPRD NTB tolak peleburan DP3AP2KB dengan Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan, Rabu (9/4/2025).
Foto: Puluhan aktivis perempuan dan anak datangi Komisi V DPRD NTB tolak peleburan DP3AP2KB dengan Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan, Rabu (9/4/2025). (Ahmad Viqi/detikBali)
Mataram -

Puluhan aktivis perempuan dan anak yang tergabung dalam Aliansi Pemerhati Perempuan dan Anak NTB mendatangi Komisi V DPRD NTB, Rabu (9/4/2025). Mereka menolak rencana Gubernur NTB Lalu Muhamad Iqbal menggabungkan Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) dengan Dinas Sosial (Dinsos) dan Dinas Kesehatan (Dinkes).

Perwakilan Aliansi Pemerhati Perempuan dan Anak NTB, Nur Jannah, menilai penggabungan tersebut bukan menjadi solusi mengatasi maraknya kasus anak dan perempuan di NTB. Peleburan ini merupakan kemunduran dalam upaya melindungi perempuan dan anak di NTB.

"Ide peleburan DP3AP2KB ini, adalah kesalahan besar yang tidak diantisipasi. Bagaimana NTB bisa makmur mendunia jika masalah perempuan dan anak dicampuradukkan dengan urusan sosial dan kesehatan yang terlalu luas cakupannya," ujar Nur dalam dengar pendapat di kantor DPRD NTB, Rabu siang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Nur menduga Pemprov NTB melalui timnya sama sekali tidak melakukan kajian mendalam terkait rencana peleburan ini. Dia menyebut masalah perempuan dan anak tidak bisa dipandang hanya sebagai persoalan sosial semata. Tetapi juga menyangkut hak asasi manusia (HAM) yang harus mendapatkan prioritas.

Dalam data yang dipegang para aktivis perempuan dan anak, saat ini, angka perkawinan anak di NTB meningkat drastis dari 16,23 persen pada tahun 2022 menjadi 17,32 persen pada tahun 2023. Kondisi ini jauh di atas rata-rata nasional yang justru menurun menjadi 6,92 persen.

ADVERTISEMENT

Selain itu, pada 2022 tercatat 1.022 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, dengan 672 kasus di antaranya melibatkan anak-anak.

"Angka-angka ini seharusnya menjadi warning bagi pemerintah. Kalau DP3AP2KB dilebur, siapa yang akan menangani persoalan ini secara khusus dan terkoordinasi?" tukasnya.

"Jadi, tidak ada logika yang bisa masuk jika DP3AP2KB digabungkan. Ini menyangkut tubuh, nyawa dan anak. Maka, pilihannya adalah harus diperkuat," sambung Nur.

Sementara, Direktur Lembaga Pengembangan Sumber Daya Mitra (LPSDM) NTB, Ririn Hayudiani, mengatakan peran strategis DP3AP2KB terancam terhapus jika dilebur dengan Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan yang merupakan dampak efisiensi anggaran itu.

Menurut dia, DP3AP2KB merupakan dinas utama dalam Pengarusutamaan Gender (PUG) sesuai amanah Instruksi Presiden nomor 9 Tahun 2000. Selain itu, DP3AP2KB menjadi penggerak utama dalam penyusunan Anggaran Responsif Gender (ARG) serta peningkatan Indeks Pembangunan Gender (IPG) dan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) di NTB.

"IPG dan IDG NTB masih berada di bawah rata-rata nasional. Jika DP3AP2KB dilebur, siapa yang akan mengawasi pencapaian ini? Peleburan ini jelas-jelas mengabaikan amanah dari Inpres Nomor 9 Tahun 2000," ungkap Ririn mengkritik.

Saat ini, UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) juga di bawah naungan DP3AP2KB menjadi tumpuan utama dalam menangani dan melindungi korban kekerasan. Namun, dengan peleburan ini, kinerja UPTD PPA akan semakin terganggu dan tidak efektif.

Untuk itu, Ririn mengingatkan, bahwa DP3AP2KB adalah OPD yang tidak bisa digabungkan. Sebab, urusan dengan Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan sangat berbeda jauh.

"Sudah menjadi kewajiban dan komitmen negara melindungi hak perempuan, anak hingga kaum rentan tersebut. Bagaimana NTB bisa makmur mendunia sesuai visi-misi Pak Gubernur manakala kelompok rentan, perempuan dan anak enggak diperhatikan. Jujur yang ada, kami khawatir nanti yang ada kita malah diolok-olok bangsa lainnya jika kelompok rentan perempuan tidak diperhatikan," tegasnya.

Dia mengatakan bahwa DPRD NTB sebagai lembaga perwakilan rakyat harus dapat dengan serius mengawal ranperda perampingan OPD Pemprov yang diajukan eksekutif. Mengingat, penggabungan DP3AP2KB itu, adalah sebuah kemunduran pemerintahan Iqbal-Dinda.

"Ingat, NTB ini adalah wilayah yang darurat seksualitas. Ini harusnya jadi alarm dan kajian terlebih dahulu sebelum menyusun sebuah regulasi berupa ranperda itu. Apalagi, jika digabung dengan Dinas Sosial yang hingga kini belum mampu mengurusi data PKH yang hingga kini masih amburadul," tegas Ririn.

Ketua DPRD NTB Baiq Isvie Rupaeda yang didampingi Anggota Komisi V Didi Sumardi mengatakan sedari awal tidak sependapat jika DP3AP2KB digabung bersama Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan.

Sebab, hingga kini Provinsi NTB memang belum menjadi daerah yang ramah perempuan. Karena itu, hal tersebut perlu didobrak agar bisa menjadi provinsi yang ramah perempuan dan anak.

"Saya menolak DP3AP2KB untuk digabungkan. Tapi kewenangan mutlak ada di kepala daerah dalam hal ini Pak Gubernur. Nanti, kita cermati draft perampingan OPD-nya dan baru kita bersikap secara kelembagaan," ujar Isvie.

Oleh karena itu, ia menyarankan agar Aliansi Pemerhati Perempuan dan Anak NTB, untuk melakukan hearing dengan Gubernur Lalu Muhamad Iqbal. Sebab, Iqbal juga butuh banyak masukan terkait masalah anak dan perempuan di NTB.

"Kita harus pahami. Pak gubernur kita kan baru datang ke NTB setelah lama berkarier di Jakarta dan negara-negara di dunia. Maka, saya kira masukan kawan-kawan organisasi perempuan penting menjadi bahan beliau untuk membuat kebijakan yang lebih baik ke depannya," ungkap Isvie.

Setali tiga uang dengan Isvie, Anggota Komisi V DPRD NTB Didi Sumardi memastikan akan mengundang khusus perwakilan Aliansi Pemerhati Perempuan dan Anak NTB saat pembahasan rancangan perda perampingan OPD manakala sudah masuk usulannya ke DPRD NTB.

"Kami butuh banyak masukan kawan-kawan dalam rangka perbaikan draf ranperda perampingan OPD ke depannya," tandas Didi Sumardi.




(hsa/hsa)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads