Sebanyak tiga perwakilan perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia (PMI), PT Zizra Dwijaya, PT Pamor, dan PT Cahaya Lombok mendatangi Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Nusa Tenggara Barat (NTB), Jumat (24/1/2025). Mereka menuntut kejelasan terkait gagalnya pemberangkatan 518 calon PMI ke Malaysia.
Pantauan detikBali, perwakilan perusahaan sempat terlibat adu argumentasi di dalam Ruang Rapat Pleno Gedung DPRD NTB. Beberapa perwakilan perusahaan bahkan mendesak pemerintah segera mencari solusi atas batalnya keberangkatan para calon PMI.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (APJATI) NTB, Edi Sopyan, mengungkapkan 518 calon PMI menjadi korban kebijakan sistem buka tutup rekrutmen pekerja yang diterapkan oleh Malaysia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saat ini, kami sedang berupaya merayu pihak Malaysia agar data 518 calon PMI ini dihapus dari sistem mereka. Pasalnya, proses calling visa dihentikan oleh perusahaan di Malaysia," ujar Edi.
Edi mendesak Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, Abdul Kadir Karding, untuk segera berkoordinasi dengan pemerintah Malaysia guna menghapus kebijakan rekrutmen buka tutup. "Sistem ini membuat perusahaan jasa di NTB tersandera," terangnya
"Malaysia membuka rekrutmen selama enam bulan, lalu menutupnya selama tiga bulan, dan tiga bulan berikutnya digunakan untuk evaluasi. Ini yang harus segera dikomunikasikan," tambah Edi.
Anggota Komisi V DPRD NTB, Didi Sumardi, akan segera mencari solusi terkait masalah ini. Didi menegaskan nasib 518 calon PMI yang gagal berangkat sejak 2023 menjadi perhatian khusus bagi DPRD NTB. "Kami sedang mencari solusi agar mereka bisa segera diberangkatkan," ujar Didi.
Menurut Didi, hasil kesepakatan antara Komisi V DPRD NTB dengan perwakilan perusahaan akan melibatkan berbagai pihak, termasuk perusahaan penyalur dan kementerian, untuk menyelesaikan persoalan ini. "Kami akan melakukan pendekatan ke kementerian agar percepatan pemberangkatan calon PMI ini dapat dilakukan," kata Didi.
Didi sependapat dengan Edi jika sistem buka tutup dari pemerintah Malaysia menjadi kendala utama bagi perusahaan penyalur di NTB. "Fokus kami adalah mengupayakan agar kebijakan buka tutup ini tidak lagi diterapkan oleh Malaysia. Ini akan kami sampaikan melalui koordinasi dengan kementerian," jelas politikus Partai Golongan Karya (Golkar) tersebut.
Diberitakan sebelumnya, massa calon PMI berunjuk rasa di depan kantor DPRD NTB. Mereka mengadu karena gagal berangkat ke Malaysia sejak 2023.
Ketua Lembaga Forum Perlindungan Pahlawan Devisa Lombok (LFPPDL), Lalu Kedim Marzuki, menyebut ada 672 calon PMI (CPMI) yang gagal diberangkatkan meski telah melengkapi semua persyaratan.
"Mereka ini tersandera yang mengakibatkan terancam gagal ke negara tujuan," kata Kedim di depan gedung DPRD NTB, Kamis (23/1/2025).
Kedim menjelaskan, dari total 5.000 kuota PMI pada 2023, sebagian besar telah diberangkatkan, sementara 672 orang lainnya tertahan karena berbagai kendala.
"Mereka sudah menyelesaikan proses syarat keberangkatan. Di antaranya, Sistem Manajemen Layanan (SML), bestinet, calling visa, bahkan beberapa PMI sudah mengikuti Orientasi Pra-Pemberangkatan (OPP) atau orientasi sehari sebelum keberangkatan," jelasnya.
Pada Agustus 2024, Kedim melanjutkan, perusahaan Felda Global Ventures (FGV) asal Malaysia yang menjadi tempat kerja para CPMI tersebut datang ke Indonesia untuk memproses ulang keberangkatan mereka. Namun, proses tersebut terhenti karena bestinet CPMI mendapat penolakan dengan alasan calling visa telah kedaluwarsa.
"Alasannya dari FGV calling visa sudah mati, tidak bisa diberangkatkan kembali," ujarnya.
Kedim menyebut, perusahaan lain juga menolak memberangkatkan 672 CPMI itu karena nama mereka masih terdaftar di perusahaan FGV. Walhasil, pemberangkatan baru hanya dapat dilakukan setelah FGV menyelesaikan pembatalan administrasi.
"Mereka tetap tersandera jika pihak FGV tidak menyelesaikan ini semua. Mulai dari pembatalan ke kedutaan hingga ke pihak imigrasi," imbuhnya.
Selain itu, Kedim menuding FGV telah merekrut calon PMI baru, yang memicu protes dari CPMI sebelumnya yang belum diberangkatkan.
"Akibat kegagalan ini, mereka terancam berangkat secara ilegal. Mereka ini korban yang terdesak kebutuhan ekonomi karena punya tanggungan keluarga," katanya.
Kedim menambahkan, sesuai Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004, pemerintah bertanggung jawab atas penempatan dan perlindungan PMI.
"Pemerintah punya tanggung jawab di situ sesuai undang-undang. Surat izin pengerahan itu kan dari pemerintah yang bermitra dengan swasta," tegasnya.
(hsa/hsa)