80 Rumah Digusur PT Kristus Raja Maumere, Warga Bertahan di Tenda Darurat

Sikka

80 Rumah Digusur PT Kristus Raja Maumere, Warga Bertahan di Tenda Darurat

Yurgo Purab - detikBali
Jumat, 24 Jan 2025 10:32 WIB
Warga menolak penggusuran oleh PT Kristus Raja Maumere, Sikka, NTT.
Warga menolak penggusuran oleh PT Kristus Raja Maumere, Sikka, NTT. (Foto: dok. Istimewa)
Sikka -

Sekitar 80 rumah milik ratusan warga di lahan eks hak guna usaha (HGU) di Nangahale, Kecamatan Talibura, Kabupaten Sikka, NTT, digusur dengan alat berat pada Rabu (22/1/2025). Warga yang terdampak kini tinggal sementara di tenda darurat.

"Ada 80 rumah yang digusur kemarin. Dan akan ada penggusuran lanjutan," kata salah satu warga yang rumahnya turut digusur, Fernando Richayanto, kepada detikBali, Kamis (23/1/2025).

Fernando menyebut warga sempat melawan pihak PT Kristus Raja Maumere (Krisrama) yang menggusur dengan pengawalan aparat. Bahkan, warga melempar batu hingga memecahkan kaca alat berat, tetapi penggusuran tetap berlanjut.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"(Saat pembersihan) Pemerintah dan aparat desa juga tidak ada pemberitahuan. Yang mendiami lokasi eks HGU sekitar 1.070 kepala keluarga. Untuk sementara warga ada buat tenda darurat di salah satu posko," ujarnya.

Dalam video yang beredar, terlihat warga berusaha menghentikan penggusuran dengan makan tanah di atas alat berat sambil berteriak.

ADVERTISEMENT
Warga menolak penggusuran oleh PT Kristus Raja Maumere, Sikka, NTT.Warga menolak penggusuran oleh PT Kristus Raja Maumere, Sikka, NTT. Foto: dok. Istimewa

Sementara itu, Direktur PT Krisrama, Romo Ephy Romo, menjelaskan sejarah tanah eks HGU tersebut. Awalnya, tanah itu dikuasai oleh perusahaan Belanda Amsterdam Soenda Compagni berdasarkan surat keputusan 11 September 1912. Pada 1926, tanah dijual kepada Apostholik Vikariat Van De Klanis Soenda Elianden.

"Pada 16 Desember 1956, Vikariat Apostholik Ende (VAE) melepaskan sebagian tanah seluas 783 hektare kepada pemerintah Swapradja Sikka untuk masyarakat," kata Romo Ephy, Jumat (24/1/2025).

Setelah pemberlakuan Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, tanah tersebut diajukan menjadi HGU oleh PT DIAG, yang kemudian berganti nama menjadi PT Krisrama. Hak pengelolaan terakhir diperoleh pada 28 Agustus 2023 seluas 325 hektare, setelah menyerahkan 543 hektare kepada negara.

Ephy menjelaskan proses pembersihan tanah sudah melalui prosedur, mulai dari pengumuman gereja, pendekatan persuasif, hingga somasi hukum.

"Realita di lapangan, sejumlah besar okupan sudah mengindahkan imbauan untuk mengosongkan pondok mereka," katanya.

Namun, Ephy mengungkapkan beberapa okupan bertahan atas dorongan LSM dan aktor tertentu. "Mereka menamakan diri masyarakat adat, tetapi tidak bisa menunjukkan bukti kepemilikan," ujarnya.




(dpw/dpw)

Hide Ads