Polarisasi Teks-Ujaran Kebencian di Pilkada NTB Capai 15,5 Persen

Polarisasi Teks-Ujaran Kebencian di Pilkada NTB Capai 15,5 Persen

Ahmad Viqi - detikBali
Sabtu, 04 Jan 2025 22:08 WIB
Diskusi Terpumpun bersama AJI Mataram, AMSI NTB dalam tema Refleksi Kritis Ujaran Kebencian dan Polarisasi Pilkada NTB di Mataram, Sabtu (5/1/2025). Foto: (Ahmad Viqi/detikBali).
Foto: Diskusi Terpumpun bersama AJI Mataram, AMSI NTB dalam tema Refleksi Kritis Ujaran Kebencian dan Polarisasi Pilkada NTB di Mataram, Sabtu (5/1/2025). (Foto Ahmad Viqi/detikBali)
Mataram -

Polarisasi teks dan ujaran kebencian pada Pilkada 2024 di Nusa Tenggara Barat (NTB) berada di peringkat empat dari lima provinsi. Yakni, Provinsi Aceh, Jawa Barat, Maluku Utara, Sumatera Utara, dan NTB.

Peneliti dari Monash University Data and Democracy Research Hub Ika Idris mengatakan dari lima provinsi yang dipantau pada Pilkada Serentak 2024, rasio teks terpolarisasi tertinggi dipegang oleh Provinsi Aceh, mencapai 63,8 persen.

Posisi kedua disusul provinsi Maluku Utara dengan angka 46,9 persen, Sumatera Barat 17,6 persen, NTB, 15,5 persen dan terakhir Jawa Barat dengan angka 4,8 persen.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Pada saat Pilkada Serentak 27 November 2024 lalu, kami melibatkan annotator yang berjumlah 29 orang, sebagai pemantau di setiap daerah yang berkaitan dengan ujaran kebencian dan polarisasi," kata Ika dalam Diskusi Terpumpun bersama AJI Mataram dan AMSI NTB dalam tema Refleksi Kritis Ujaran Kebencian dan Polarisasi Pilkada NTB di Mataram, Sabtu (4/1/2025) sore.

Ika mengatakan banyak kelompok minoritas menjadi target ujaran kebencian dan polarisasi saat Pilkada 2024. Sistem polarisasi menggunakan teks-teks yang memicu pecah belah di tengah masyarakat.

"Tapi isu-isu pada ujaran kebencian lebih besar terjadi pada pilpres 2019 lalu," katanya.

Khusus di Pilkada NTB, Ika berujar, ada 20 ribu teks yang diambil untuk dianalisis oleh annotator lokal. Ditemukan banyak polarisasi yang langsung mengucilkan pribadi calon kepala daerah.

"Teks polarisasi lebih kepada polarisasi politik. Yang menjadi catatan juga banyak teks ujaran kebencian menyerang gender seperti tidak mau dipimpin oleh sosok perempuan," katanya.

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Mataram Muhammad Kasim mengatakan Koalisi Cek Fakta NTB sudah memetakan hoaks dan ujaran kebencian di semua tahapan pilkada di NTB. Mulai dari proses pencalonan, bongkar pasang pasangan, pendaftaran pasangan calon, penetapan pasangan calon, kampanye, debat kandidat, hari pencoblosan, hingga selesainya tahapan pilkada.

Menurutnya, sejak Juli sampai Desember 2024, tim memantau platform media sosial Facebook/Meta, Instagram, TikTok, YouTube, dan aplikasi pesan WhatsApp.

"Data yang kami temukan data teks ujaran kebencian ada 94 dan ada 89 hoaks selama Pilkada di NTB. Bisa lebih karena ada yang dihapus, dan ada yang tidak sempat di capture oleh tim pemantau," kata Kasim.

Ujaran kebencian dan hoaks yang terjadi, Kasim melanjutkan, karena pendukung dan simpatisan terlalu berlebihan mendukung atau terjadi fanatisme politik identitas yang menguat pada salah satu pasangan calon.

Dari hasil pemantauan tim koalisi, cagub NTB nomor urut 3 Lalu Muhamad Iqbal dan Indah Dhamayanti Putri menjadi target hoaks dan ujaran kebencian paling banyak selama masa kampanye Pilkada NTB. Kemudian, pasangan Zulkieflimansyah-Suhaili Fadhil Thohir dan terakhir pasangan Sitti Rohmi Djalilah dan W Musyafirin.

"Contoh banyak menyerang pribadi Dinda dan Iqbal setelah debat. Ada juga ujaran yang tidak setuju perempuan tidak layak menjadi pemimpin. Bahkan misalnya banyak yang tidak rela dipimpin orang Sumbawa," katanya.

Menurut Kasim, banyaknya gangguan informasi menyebabkan munculnya ketidakpercayaan publik atas pemimpin yang terpilih. Sehingga di media sosial terutama Facebook, TikTok, dan grup percakapan Whatsapp saling serang.

"Harusnya ruang digital harus memberikan rasa aman dan nyaman bagi publi," tegasnya.

Kasim pun mendorong lebih banyak pelatihan jurnalis kaitan dengan debunking, yaitu melakukan pemeriksaan fakta setelah hoaks terjadi. Selain itu, mendorong pelatihan prebungking bagi jurnalis, mitigasi, atau vaksin sebelum terjadi hoaks.

Koordinator Wilayah Masyarakat Anti Fitnah Indonesia NTB Nurliya Ni'matul Rohmah mengatakan polarisasi hingga hoaks selama tahapan pilkada serentak di NTB masih marak. Untuk itu perlu melakukan edukasi ke tengah masyarakat termasuk golongan anak muda.

"Perlu juga mengedukasi secara akademik ke kampus," katanya.

Hans Bahanan, Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia Provinsi NTB, mengatakan penyebab maraknya hoaks dan polarisasi di NTB dampak dari banyaknya media online yang belum terverifikasi dewan pers. Terdata, ada ribuan media online di NTB.

Bahkan pada saat kampanye berlangsung, tim dari pasangan calon yang bertarung sengaja membuat media online untuk menyerang pribadi lawan politik.

"Ini membuat kerja jurnalis terganggu. Kami menjadi verifikator berita yang dibuat oleh media yang terafiliasi dari paslon," kata Hans.

Ketua Divisi Pencegahan, Partisipasi Masyarakat, dan Hubungan Masyarakat (Parmas) Bawaslu NTB Hasan Basri mengatakan berdasarkan survei di seluruh kabupaten/kota di Indonesia, NTB termasuk provinsi yang relatif rendah tingkat polarisasi dan ujaran kebencian dibandingkan dengan provinsi lain.

"Data ini penting kami minta untuk kemudian kami bawakan ke kampus-kampus di NTB yang konsen terkait dengan isu ujaran kebencian dan polarisasi," tegas Hasan.

Bawaslu, Hasan berujar, siap membangun langkah kolaborasi dengan perguruan tinggi untuk memecahkan akar masalah yang terjadi pada pilkada serentak.

"Ini sangat penting bagi kemajuan demokrasi kita," tandas Hasan.




(hsa/hsa)

Hide Ads