ICW: Korupsi Belum Jadi Topik Utama di Kalangan Muda NTT

Kupang

ICW: Korupsi Belum Jadi Topik Utama di Kalangan Muda NTT

Yufengki Bria - detikBali
Kamis, 12 Des 2024 20:45 WIB
ICW dan para musisi saat konferensi pers peluncuran album Artcollabs Frekuensi Perangkap Tikus bertajuk Menenun Suara Timur di Kota Kupang, NTT, Kamis (12/12/2024).
ICW dan para musisi saat konferensi pers peluncuran album Artcollabs Frekuensi Perangkap Tikus bertajuk Menenun Suara Timur di Kota Kupang, NTT, Kamis (12/12/2024). (Foto: Yufengki Bria/detikBali).
Kupang -

Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkapkan bahwa isu korupsi belum menjadi pembahasan utama di kalangan muda Nusa Tenggara Timur (NTT). Berdasarkan survei online terhadap 400 responden, sebanyak 80 persen peserta menganggap korupsi hanya sebatas menyebabkan kerugian negara.

"Artinya, persoalan korupsi ini belum menjadi topik utama di kalangan masyarakat NTT, khususnya kaum muda," ujar Koordinator Divisi Penggalangan Dukungan Publik ICW, Sigit Wijaya, dalam peluncuran album antikorupsi di Kupang, Kamis (12/12/2024).

Sigit menyebutkan, banyak proyek mangkrak akibat korupsi di NTT. Pengadaan barang dan jasa menjadi sektor yang paling sering diselewengkan oleh pejabat pemerintah, tetapi penindakan hukum masih minim.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Penanganan korupsi di NTT tergantung pada keaktifan aparat penegak hukum, peran masyarakat sipil, dan media dalam mengawal kasus-kasus tersebut.

Ia menegaskan bahwa pemberantasan korupsi membutuhkan komitmen dan kerja sama semua pihak untuk mewujudkan kemajuan NTT. Apalagi NTT memiliki banyak potensi yang bisa dikembangkan.

ADVERTISEMENT

"Namun, potensi tersebut tidak akan terwujud tanpa pemberantasan korupsi yang serius dan berkelanjutan," tegas Sigit.

Budaya Pesta dan Kekerasan terhadap Perempuan

Direktur LBH Apik NTT, Ansy Damaris Rini Dara, menyoroti tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di NTT yang dipengaruhi budaya pesta dengan konsumsi minuman keras, seperti moke dan sopi.

"Kalau ada pesta, maka diiringi dengan moke dan sopi. Padahal minuman tradisional itu seharusnya berlaku saat adanya acar adat, tetapi ada juga di acara pesta nikah dan sebagainya. Sehingga di saat orang mabuk terjadilah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak," kata Ansy.

Ia menambahkan, adat belis (mahar) yang tinggi juga menjadi masalah. Setelah belis dibayar, perempuan sering diperlakukan seperti properti, sehingga kekerasan dianggap wajar. Budaya seperti ini tidak jarang memicu utang.

"Pada akhirnya dapat berdampak pada praktik korupsi," pungkasnya.




(dpw/dpw)

Hide Ads