Pemerintah Provinsi (Pemprov) Nusa Tenggara Barat (NTB) mengeklaim angka perkawinan anak di daerah itu menurun. Meski belum membeberkan data secara rinci, klaim itu didasari menurunnya jumlah dispensasi pernikahan anak di pengadilan dan data kesehatan di fasilitas kesehatan (faskes).
"Dari data dispensasi di pengadilan, yang pasti terjadi penurunan. Begitu juga dari data kesehatan yang hamil dan melahirkan di faskes, juga mengalami penurunan," kata Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) NTB Nunung Triningsih di Mataram, Sabtu (2/11/2024).
Nunung belum mengakumulasi data pernikahan dini di NTB pada tahun ini. Ia mengaku terus memberikan edukasi bahaya pernikahan dini dengan melibatkan mitra pembangunan, organisasi profesi, hingga organisasi perempuan dan keagamaan di NTB.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami edukasi pencegahan perkawinan anak ke sekolah-sekolah, seperti SMA, SMK, hingga SLB yang ada di 10 kabupaten/kota di NTB," tutur Nunung.
"Tahun 2024 ini memang ada beberapa kasus (pernikahan dini) yang kami tangani di UPTD. Kami upayakan untuk pembelasan dan mengembalikan mereka ke sekolah," imbuhnya.
Berdasarkan data DP3AP2KB NTB, angka pernikahan dini di NTB dalam lima tahun terakhir berfluktuasi. Pada 2019, tercatat sebanyak 302 kasus dan naik menjadi 875 kasus pada 2020.
Jumlah kasus perkawinan anak itu kembali meningkat drastis menjadi 1.127 kasus pada 2021. Sedangkan, pada 2022 angka kasus pernikahan dini menurun menjadi 710 kasus. Pada 2023, jumlahnya meningkat sedikit menjadi 723 kasus.
Sebelumnya, Sekretaris Daerah (Sekda) NTB Lalu Gita Ariadi menyoroti pernikahan dini sebagai salah satu penyebab terjadinya stunting. Menurutnya, pernikahan dini di kalangan anak usia sekolah harus dicegah untuk menekan stunting.
"Stunting itu menjadi bagian hilir. Tetapi ada lagi permasalahan yang harus kami atasi mengawali permasalahan stunting ini dan kami temukan permasalahan itu, yakni pernikahan usia dini," kata Gita.
(iws/iws)