Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) mendesak Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB untuk segera merevisi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2021 tentang Pencegahan Perkawinan Anak. Desakan ini mencuat menyusul viralnya video pernikahan anak SMP berinisial SMY (15) dan siswa SMK berinisial SR (17) di Lombok Tengah.
"Itu perlu, harus ada revisi. Biar ada efek jera dan sanksi," kata Sekretaris LPA NTB Sukron Ucok saat ditemui di kantornya, Senin (26/5/2025).
Menurutnya, Perda Nomor 5 Tahun 2021 belum cukup kuat menekan angka perkawinan anak di NTB. Salah satu kelemahannya adalah ketiadaan sanksi tegas bagi para pelaku, termasuk orang tua maupun perangkat desa yang terlibat dalam praktik tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami dorong untuk direvisi, karena ini urgent. Harus dilakukan sesegera mungkin. Awig-awig juga bisa diberikan, untuk memberi sanksi di tiap dusun," jelas Sukron.
Ia juga menyarankan agar revisi Perda mengacu pada Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), khususnya Pasal 10 yang mengatur ancaman pidana sembilan tahun dan denda ratusan juta rupiah bagi pihak yang memaksa atau memfasilitasi perkawinan anak.
"Siapa yang memaksa (pernikahan anak), itu yang dijerat UU TPKS. Ini bisa jadi efek jera. Di satu sisi, perlu juga merubah mindset masyarakat," beber Sukron.
Menurut Sukron, kasus perkawinan di bawah umur harus segera disikapi pemerintah, mengingat dampak dari perkawinan anak tersebut amatlah besar.
"Dampak buruk dari hasil perkawinan (anak di bawah umur) itu berbahaya dan bisa jadi beban negara. Misalkan timbul stunting, kemiskinan, dan masih banyak lagi. (Kalau kasus ini terus terjadi) nggak bakal selesai-selesai (dampaknya)," tandasnya.
Dorong Pemda Cegah Perkawinan Anak
Sukron juga mendorong Pemerintah Daerah (Pemda) Lombok Tengah untuk memberi pendampingan pada SMY dan SR. Terlebih kondisi psikologis pengantin perempuan terganggu usai video pernikahannya menjadi sorotan publik dan dilaporkan ke pihak berwenang.
"Kami akan melakukan pendampingan pasca peristiwa tersebut, dan UPTD PPA Lombok Tengah harus memfasilitasi anak tersebut agar tetap mendapatkan hak-haknya," kata Sukron.
Meski menyayangkan masih terjadinya pernikahan anak, Sukron menegaskan bahwa pendekatan yang diambil LPA NTB bersifat preventif sekaligus penanganan pascaperkawinan. Ia menekankan bahwa anak-anak yang menikah di usia dini tetap harus dipandang sebagai korban, terutama karena mereka kehilangan hak atas pendidikan.
"Momentum kasus ini bisa jadi pembelajaran untuk merumuskan langkah strategis untuk percepatan implementasi regulasi Perda NTB dan Perbup Loteng, terkait pencegahan perkawinan anak," ujarnya.
Alasan ortu restui pernikahan klik halaman selanjutnya
Kedua Mempelai Trauma
Kondisi psikologis SMY dan SR kabarnya terganggu setelah prosesi pernikahan mereka viral di media sosial. Keluarga juga menyayangkan langkah LPA Kota Mataram yang melaporkan pernikahan anak itu.
Keluarga SMY menuding laporan polisi yang dilayangkan LPA Mataram hanya memperkeruh suasana. Mereka menyebut langkah LPA tersebut asal lapor karena tak pernah mendatangi rumah pengantin.
"Tiba-tiba LPA dari Mataram melaporkan peristiwa ini dan melaporkan kedua orang tua pihak pengantin," ujar pengacara ayah SMY, Muhanan, kepada detikBali di Praya, Lombok Tengah, Senin (26/5/2025).
Menurut Muhanan, laporan ini semakin juga membuat suasana kebatinan SMY dan SR semakin resah. Menurutnya, hujatan warganet di media sosial sudah sangat menyerang psikologis keduanya.
"Semakin mereka resah. 'Masak gara-gara saya nikah terus orang tua saya masuk penjara?' begitu pikiran anak-anak ini. Makanya saya bilang, ini terlalu terburu-buru sebelum melihat kondisi di bawah," imbuh Muhanan.
Alasan Ortu Terpaksa Restui Pernikahan
Muhanan mengungkap alasan kliennya merestui pernikahan SMY dan SR. Ia menyebut keluarga terpaksa menggelar pernikahan setelah SMY dibawa kabur oleh SR (17) ke Pulau Sumbawa.
Bahkan, Muhanan menyebut kepala dusun (kadus) dari kedua belah pihak turut hadir dalam prosesi akad nikah pada 5 Mei 2025. "Jadi ada yang menyatakan pihak desa tidak hadir, itu tidak ada. Tapi walinya yang bapaknya langsung," kata Muhanan.
Ia menjelaskan peristiwa itu bermula pada April 2025. Saat itu SMY pertama kali dibawa kabur SR ke Desa Braim, Kecamatan Praya Tengah.
Keluarga SMY sempat mencegah pernikahan atau dibelas (dalam istilah Sasak) dengan mendatangi rumah mempelai laki-laki. Upaya itu pun berhasil dilakukan dan SMY kembali ke rumah. SMY juga kembali bersekolah seperti biasa di SMPN 1 Praya Timur.
Sebulan kemudian, peristiwa serupa kembali terjadi. SR kembali membawa kabur SMY, kali ini ke Pulau Sumbawa dan menginap selama dua hari. Menurut Muhanan, kondisi ini membuat orang tua SMY khawatir terhadap kondisi psikologis anaknya sehingga akhirnya mengalah dan merestui pernikahan tersebut.
Simak Video "Video KPAI Ungkap Pernikahan Anak di NTB Tinggi, Adat-Regulasi Jadi Sorotan"
[Gambas:Video 20detik]
(nor/iws)