Umat Hindu di Lereng Gunung Tambora Rayakan Nyepi Tanpa Ogoh-Ogoh

Umat Hindu di Lereng Gunung Tambora Rayakan Nyepi Tanpa Ogoh-Ogoh

Rafiin - detikBali
Minggu, 10 Mar 2024 16:24 WIB
Prosesi melasti umat Hindu di Desa Oi Bura Kecamatan Tambora, Kabupaten Bima, NTB, sebelum perayaan Nyepi, Minggu (10/3/2/2024). (istimewa)
Foto: Prosesi melasti umat Hindu di Desa Oi Bura Kecamatan Tambora, Kabupaten Bima, NTB, sebelum perayaan Nyepi, Minggu (10/3/2/2024). (Istimewa)
Bima -

Hari Raya Nyepi tahun baru Saka 1946 jatuh pada Senin (11/3/2024). Umat Hindu yang berada di lereng Gunung Tambora, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), merayakan Nyepi tanpa ogoh-ogoh, salah satu ritual yang digelar sehari sebelum Nyepi.

"Kami di Desa Oi Bura Kecamatan Tambora, selama ini merayakan Nyepi tanpa ada ogoh-ogoh. Namun, perayaan Nyepi tetap khidmat," kata pemangku Pura Agung Udaya Parwata, Jero Mangku Gede Tambora, kepada detikBali, Minggu (10/3/2024).

Meski begitu, Gede melanjutkan, beberapa ritual sebelum puncak Nyepi tetap dilakukan. Kemudian, sehari setelah Nyepi ada prosesi ngembak geni.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Jadi beberapa hari sebelum Nyepi, kami akan melakukan ritual sedekah laut (melasti), tawur agung kesanga, dan upacara di kampung atau banjar," katanya.

Gede Tambora mengungkapkan perayaan Nyepi di Desa Oi Bura selama ini tetap berjalan aman dan lancar. Warga atau umat agama lain, tetap menjaga toleransi. Bahkan saling menghargai dan menghormati satu sama lain.

ADVERTISEMENT

"Beberapa hari sebelum Nyepi, kami memberitahukan ke pemerintah desa untuk diteruskan kepada warga lainnya," ujarnya.

Kepala Desa Oi Bura, Abdollah, mengungkapkan umat Hindu di Desa Oi Bura sudah ada sejak 2000-an. Bahkan mereka lebih dulu ada, sebelum Desa Oi Bura mekar dari Desa Labuhan Kananga pada 2007.

"Umat Hindu di Desa Oi Bura datang bertahap sejak tahun 2000-an sebagai transmigran," ujarnya.

Abdollah mengungkapkan penduduk Desa Oi Bura terdiri dari berbagai etnis dan agama. Tercatat, dari seribuan jiwa atau 400 kepala keluarga (KK), ada yang beragama Hindu, Islam, Katolik, hingga Protestan. Mereka rata-rata berprofesi sebagai petani.

"Untuk umat Hindu totalnya sebanyak 75 jiwa atau 27 KK," ujar Abdollah.

Meski kehidupan warga berbeda agama dan suku, namun toleransi tetap terjaga. Selama 17 tahun berdirinya Desa Oi Bura, mereka tetap hidup berdampingan, saling menghormati dan menghargai di tengah perbedaan.

"Nilai-nilai persatuan dan kesatuan masih tinggi," ujarnya.

Yang tidak kalah pentingnya, kata Abdollah, yakni pada saat perayaan hari raya keagamaan. Misalnya saat Nyepi, umat agama lain akan menghentikan sementara aktivitasnya agar tidak menggangu pelaksanaan Nyepi.

"Sehari sebelum Nyepi, kami akan disampaikan dan umumkan ke masjid. Dan umat lain langsung mengerti dan memahami," tandasnya.




(hsa/gsp)

Hide Ads