Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Manggarai Barat tetap memungut pajak jasa akomodasi perhotelan dan pajak makan minum pada kapal wisata yang beroperasi di perairan Labuan Bajo mulai Januari 2024 kendati masih mendapat penolakan dari sejumlah pelaku pariwisata di daerah tersebut. Pajak yang dipungut sebesar 10 persen tersebut sama seperti pajak hotel dan restoran yang ada di daratan selama ini.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bapenda) Kabupaten Manggarai Barat Maria Yuliana Rotok mengatakan pungutan pajak itu tak bisa dibatalkan atau ditunda. Sebab Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Manggarai Barat Nomor 6 Tahun 2023 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sudah diundangkan dalam Lembaran Negara pada 15 Desember 2023.
Perda Nomor 6 Tahun 2023 itu menjadi dasar hukum pungutan pajak hotel dan restoran pada kapal wisata tersebut. Menurut dia, ketika Perda itu sudah diundangkan dalam lembaran negara maka harus diberlakukan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tidak bisa lagi (ditunda) karena ketika Perda itu sudah diundangkan maka dia sudah harus mulai berlaku," kata Leli - sapaan Maria Yuliana Rotok- melalui sambungan telepon, Minggu (17/12/2023).
Leli mengabaikan pertimbangan pelaku pariwisata soal wisatawan sudah membeli paket wisata ke Labuan Bajo untuk 2024. Jika pajak itu diberlakukan mulai Januari 2024, pelaku wisata harus menyampaikan lagi perubahan harga paket wisata kepada wisatawan.
Sebab pelaku wisata akan menaikkan harga paket wisata jika pajak itu diberlakukan. Leli beralasan aturan untuk pungutan pajak terhadap kapal wisata itu harus diberlakukan dan pungutan pajak untuk kepentingan daerah.
"Dari sisi pemerintah kami tidak mungkin lagi mengangkangi aturan yang sudah berlaku. Semua ini untuk kepentingan daerah Manggarai Barat, kontribusi. Karena selama ini yang ada di atas kapal tidak pernah kena pajak padahal ada yang menginap di atas kapal wisata," tegas Leli.
"Sangat tidak adil yang di darat dikenakan pajak, yang di atas air tidak dikenakan pajak, sama-sama menginap kan. Kita sama-sama berkontribusi untuk daerah ini," lanjut dia.
Leli mengatakan pihaknya sudah mengagendakan sosialisasi pungutan pajak hotel dan restoran pada kapal wisata paling lama pada pekan kedua Januari 2024. Sosialisasi baru bisa dilakukan pada waktu tersebut karena Perda Nomor 6/2023 baru diundangkan dalam lembaran negara pada 15 Desember 2023.
Berikutnya tata cara pemungutan pajak itu perlu diatur dalam Peraturan Bupati Manggarai Barat yang saat ini sedang disusun dan ditargetkan selesai pada bulan ini.
"Januari awal kami agendakan lakukan sosialisasi khususnya kepada kapal wisata. Paling lambat Minggu kedua kami sudah lakukan sosialisasi bersama KSOP," kata Leli.
Ia berharap pelaku pariwisata yang diundang untuk sosialisasi nanti bisa hadir. Sebab saat sosialisasi Ranperda tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pelaku pariwisata yang datang hanya beberapa orang.
"Resmi pemungutan itu sejak 1 Januari 2024. Sosialisasi ini hanya memberi tahu, tidak ada lagi audiensi, itu sudah lewat. Nanti memberi tahu ada produk hukum yang harus kita taati bersama. Omzet mereka sejak Januari sudah dihitung pajaknya, dibayarkan paling lambat tanggal 10 Februari untuk omzet bulan januari," jelas Leli.
Rencana memungut pajak itu diprotes pelaku wisata karena akan membebani wisatawan dan bikin kapal wisata pergi dari Labuan Bajo. Kalau tak bisa dibatalkan, mereka minta pajak itu dipungut satu hingga dua tahun kemudian setelah disosialisasikan.
Ketua Umum Asosiasi Kapal Wisata (ASKAWI) Manggarai Barat Ahyar Abadi mengatakan pungutan pajak hotel dan restoran terhadap kapal wisata membebani wisatawan yang berkunjung ke Labuan Bajo.
"Menjelang akhir tahun iklim pariwisata di Labuan Bajo sebagai destinasi wisata premium kembali mendapat kabar buruk, di mana kapal wisata akan dibebankan pajak hotel dan restoran. Ini akan mengganggu aktivitas pariwisata di Labuan Bajo karena ini akan berdampak langsung kepada para wisatawan," kata Ahyar.
Ia menjelaskan jika kapal wisata dipungut pajak hotel dan restoran maka harga sewa kapal akan membengkak, yang tentunya membebani wisatawan. "Jika semua kapal wisata dibebankan pajak lagi, maka ini akan menimbulkan efek domino. Harga sewa kapal pasti akan membengkak dari harga sebelumnya.
Wisatawan akan kewalahan untuk datang ke Labuan Bajo karena harus menggelontorkan dana yang banyak untuk bisa liburan ke Labuan Bajo," jelas Ahyar.
Beban wisatawan ke Labuan Bajo juga cukup berat karena harga tiket pesawat yang relatif masih mahal, termasuk lagi biaya tiket dan jasa ranger di Taman Nasional Komodo. "Ini sangat berdampak pada iklim pariwisata di Labuan Bajo," tegas Ahyar.
Ia mendorong Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat tidak memaksakan kebijakan pemungutan pajak hotel dan restoran untuk kapal wisata di Labuan Bajo. Menurut dia, perlu dikaji dengan matang dampak pemungutan pajak tersebut.
"Kami berharap agar kebijakan ini tidak dipaksakan dan perlu ditinjau kembali. Dikaji dulu apa dampak dari kebijakan ini. Jangan hanya melihat angka keuntungan langsung dieksekusi. Bisnis wisata ini sistematis, gak instan seperti bisnis lainnya," kata Ahyar.
Sementara, Ketua Dewan Pimpinan Cabang Gabungan Pengusaha Wisata Bahari dan Tirta Indonesia (Gahawisri) Labuan Bajo Budi Widjaja mempertanyakan dasar hukum secara nasional pungutan pajak kapal wisata tersebut. Menurut dia, jika pemerintah Kabupaten Manggarai Barat paksakan pungutan pajak terhadap kapal wisata, bukan tidak mungkin ada kapal wisata yang minggat dari Labuan Bajo.
"Kalau dipaksakan kapal pergi dari Labuan Bajo. Itu dampak negatifnya, kapal wisata bisa pindah," kata Budi.
(nor/gsp)