Sofa-sofa berbagai motif itu dia jual dengan harga Rp 250 ribu per unit. Peminatnya cukup tinggi.
"Pemasukan setiap bulan itu Rp 2 juta hingga Rp 3 juta," ujar Jonard kepada detikBali, Minggu (14/5/2023).
Ia termotivasi membuat sofa berbahan botol bekas dimulai sejak 2016 karena melihat sampah plastik berserakan di lingkungan sekitar. Kondisi itu membuat Jonard gusar dan mulai tergerak untuk mengolahnya.
"Walaupun sederhana tapi punya dampak nilai jual yang tinggi. Dari situ saya mulai berpikir untuk mengumpulkan botol bekas untuk mengolahnya," jelas Jonard.
Ia mengaku pada tahap awal hanya memproduksi 10 unit sebagai percobaan. Ternyata, pesanan dari warga sekitar semakin banyak. Jonard pun terus menambah produksi untuk dipasarkan secara luas.
"Saat itu sudah banyak pesanan sehingga saya produksi dalam jumlah banyak agar memenuhi permintaan pembeli. Untuk pasaran awal produksi hanya di kalangan kenalan dan sejumlah pejabat," katanya.
Botol-botol bekas yang menjadi bahan baku utama sebagian dipungut sendiri dari tempat pembuangan sampah (TPS). Namun, ketika memproduksi dalam jumlah banyak, Jonard harus membeli dari pemulung dengan harga jual per botol Rp 250. Ditambah biaya pembersihan Rp 100 per botol.
"Jadi awal mencoba itu saya pungut keliling TPS dan sebagian dapat dari teman-teman. Karena setiap kali produksi menghabiskan 1000-1.500 botol bekas akhirnya saya bangun kerja sama dengan pemulung untuk mengumpulkan botol bekas," bebernya
Jonard butuh waktu satu hari penuh untuk merakit satu unit sofa. Bahkan, terkadang lebih. Sebab, pengerjaannya membutuhkan ketelitian tinggi agar kualitasnya bagus dan tahan lama.
"Dalam pengerjaaan satu sofa itu membutuhkan waktu satu hingga tiga hari dan itu sudah siap dipasarkan," ucapnya.
Ia mengaku sebelum pandemi COVID-19 sekali produksi bisa mencapai 30 hingga 40 unit sehingga jumlah penghasilan setiap bulan berkisar Rp 8 juta hingga Rp 10 juta.
"Setiap hari itu pesanan selalu ada dengan targetnya tiap tiga hari harus diantar dan itu pemasukannya lancar terus," imbuhnya.
![]() |
"Namun sesudah pandemi itu mulai mengalami penurunan karena aktivitas masyarakat kebanyakan dirumahkan termasuk pameran-pameran UMKM itu ditiadakan sehingga pasarannya terhambat," sambungnya.
Ia mengaku saat ini hanya bisa menjual lima hingga 10 unit karena menurutnya daya beli masyarakat belum normal akibat ekonomi yang belum stabil. Namun begitu, Jonard masih bersyukur karena pemasukannya tetap lancar.
"Memang saat ini walaupun pesanannya minim tapi lancar pemasukannya," ungkap Jonard.
Ia menyampaikan kepada setiap pemuda dan masyarakat NTT pada umumnya agar dapat memanfaatkan potensi sampah plastik menjadi kerajinan yang punya nilai jual tinggi. Selain itu, bagian dari pengurangan sampah plastik.
"Saya tidak menutup diri, bagi siapa saja yang mau mendapat pelatihan baik dari komunitas maupun pemerintah terkait pengelolaan sampah plastik saya selalu siap berbagi pengalaman karena itu bagian dari peduli sampah plastik menjadi olahan yang bisa dijual," tandasnya.
(hsa/efr)