Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nusa Tenggara Barat (NTB) menggelar aksi di tengah laut Pantai Sire, Kecamatan Pemenang, Lombok Utara, Minggu (30/4/2023). Aksi itu sekaligus untuk memperingati Hari Bumi yang jatuh pada Sabtu (22/4/2023).
Direktur Utama Walhi NTB Amri Nuryadin menyatakan aksi tengah laut ini sengaja dilakukan di dekat tiga Gili Lombok Utara Air, Meno dan Gili Trawangan. Aksi itu dilakukan untuk memperingati Hari Bumi di NTB.
"Kami sengaja aksi di dekat tiga Gili Lombok sebagai warning kita yang sudah mendekati tahun politik. Ada beberapa hal coba kami angkat secara umum bahwa perubahan iklim di belahan dunia juga terjadi di NTB. Maka pemerintah hari melihat kondisi itu," kata Amri, Minggu (30/4/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam aksi itu, Walhi NTB mencoba mengkritik kebijakan pemerintah yang abai terhadap perubahan iklim yang sudah terjadi di NTB. Faktanya, kata Amri, di NTB sendiri perubahan iklim ini terus terjadi dalam beberapa tahun terakhir.
"Banyak investasi pembangunan di NTB mulai masuk. Ini memperparah proses perubahan iklim. Ini sudah memasuki tahun politik tapi tidak ada satu pun pemerintah yang berbicara soal perubahan iklim di NTB," katanya.
Selain itu, aksi yang dilakukan di tengah laut Pantai Sire Lombok Utara itu juga dilakukan sebagai bentuk upaya menyelamatkan daerah pesisir di NTB. Pasalnya, NTB memiliki 403 pulau kecil yang harus dilindungi dan dijaga kelestariannya.
"Pulau-pulau kecil kita ini berpotensi tenggelam jika kami tidak melakukan aksi untuk menahan laju perubahan iklim. Sehingga pemenang segera membuat aturan yang mampu melindungi daerah pesisir karena perubahan iklim yang terjadi saat ini," ujarnya.
Amri menekankan ada empat poin penting yang disampaikan bersama empat lembaga pemerhati lingkungan hidup di Lombok Utara. Pertama tentang tingginya laju perubahan iklim, kedua maraknya pembangunan pariwisata dan sektor pertambangan di NTB.
"Ada banyak pertambangan dan sektor pariwisata yang kita saksikan memiliki andil merusak lingkungan. Ada rencana penambangan oleh PT STM di Dompu, PT AMNT di Sumbawa Barat, dan AMG di Lombok Timur yang sudah jelas-jelas masuk ranah pidana," katanya.
Poin ketiga adalah mengkritik soal laju kerusakan hutan yang cukup di NTB. Bahkan kata Amri muncul pembangunan berkedok pariwisata dengan merusak kawasan hutan di NTB. Seperti KEK Mandalika yang menyebabkan hutan gundul di Kuta dan rencana pembangunan Kereta Gantung Rinjani di Lombok Tengah.
"Baru-baru ini perusahaan muncul PT Bumbang Citra Nusa di Desa Mertak. Di sana ada 50 KK nelayan yang akan diusir dari kampungnya. Kita belum berbicara soal KEK Mandalika," tegasnya.
Poin keempat adalah soal investasi bebas kawasan hutan. Dalam hal ini, rencana pemerintah NTB meraih zero emisi tahun 2050 sangat berbanding terbalik dengan kondisi riil hari ini. Penggunaan batu bara di tujuh PLTU di NTB sangat tidak relevan dengan rencana pemerintah.
"Artinya ini sebagai warning kita untuk menyelamatkan bumi ini. Karena kita tahu selama tahun 2023 ini sudah 58 bencana dalam empat bulan di NTB. Ada banjir longsor dan bencana ekologi lainnya," terang Amri.
Dia pun meminta agar pemerintah lebih serius dalam melihat dampak dari kerusakan lingkungan karena maraknya alih fungsi lahan di NTB.
"Kerusakan hutan kita sudah hampir 50 persen. Tapi belum ada konsepsi tata kelola pencanangan kawasan hutan kita. Di NTB sendiri ada IUP yang menelan 200 ribu hektare lahan hutan kita. Inilah yang kami evaluasi pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah NTB saat ini," pungkas Amri.
Dia pun memberikan masukan kepada pemerintah agar semua investasi yang masuk ke NTB harus memiliki daya dukung dan daya tampung perlindungan lingkungan hidup kawasan. Baik di kawasan hutan dan pesisir.
"Jadi ada 403 pulau-pulau kecil yang tersebar di NTB. Ini harus kita selamatkan," pungkas Amri.
(nor/hsa)