Mengenal Ireng, Pantangan Sentuh Tanaman Usai Penguburan di Manggarai

Nusa Tenggara Timur

Mengenal Ireng, Pantangan Sentuh Tanaman Usai Penguburan di Manggarai

Ambrosius Ardin - detikBali
Minggu, 04 Des 2022 20:42 WIB
Basilius Daja (kedua dari kiri) saat acara adat di kampung Nggilat, Desa Nggilat, Kecamatan Macang Pacar, Kabupaten Manggarai Barat.
Basilius Daja (kedua dari kiri) saat acara adat di kampung Nggilat, Desa Nggilat, Kecamatan Macang Pacar, Kabupaten Manggarai Barat. (Ambrosius Ardin/detikBali)
Manggarai Barat -

Masyarakat di sejumlah kampung di Manggarai, Manggarai Barat dan Manggarai Timur, NTT, menjalankan tradisi ireng selama sehari setelah seorang warga kampung meninggal dunia. Ini tradisi yang sudah turun temurun dijalankan.

Ireng adalah pantangan seharian penuh bagi warga kampung melakukan aktivitas yang bersentuhan dengan tanaman. Pada hari itu, warga kampung tidak melakukan aktivitas di kebun atau sawah. Untuk kebutuhan sayur atau buah pada hari ireng, mereka biasanya sudah menyiapkannya sehari sebelumnya.

Di Kampung Nggilat, Desa Nggilat, Kecamatan Macang Pacar, Kabupaten Manggarai Barat, ireng dilaksanakan pada hari keempat setelah seorang warga kampung dikuburkan. Di kampung lain ada yang menjalankan ireng pada hari pertama, kedua atau ketiga setelah penguburan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ireng tak hanya dijalankan warga sekampung. Keluarga dekat orang meninggal yang berada kampung lain juga menjalankan ireng tersebut. Saat hari ireng, warga lebih banyak melakukan aktivitas di rumah.

"Jangan ada aktivitas di kebun. Kalau mau cari kayu bakar harus di hutan atau di luar kebun," kata tokoh adat asal Kampung Nggilat, Basilius Daja, Minggu (4/12/2022).

ADVERTISEMENT

Lius Daja menjelaskan, ireng di Kampung Nggilat dilaksanakan pada hari keempat karena pada hari itu diyakini jenazah yang sudah dikuburkan mengalami pembusukan. Pembusukan jenazah ini kemudian dikaitkan dengan tanaman yang ditanam warga.

Jika tanaman disentuh pada hari jenazah itu membusuk, diyakini tanaman itu akan layu dan ikut membusuk. Karenanya, pada hari ireng itu pantang bagi warga kampung untuk menyentuh tanaman.

"Penuturan orang tua, malam keempat mayat membusuk. Dikaitkan dengan tanaman, kalau dipegang akan layu dan membusuk kayak mayat. Itu berdasarkan pengalaman orang tua dulu," jelas Lius Daja.

"Ada tanda di tanaman, layu dan busuk misalnya jagung, padi," ujar Lius Daja.

Gelar Kenduri

Pada hari ireng itu, lanjut dia, keluarga bisa melaksanakan acara kenduri bagi bagi orang yang meninggal tersebut. Namun, acara kenduri pada hari ireng itu sifatnya opsional.

Kenduri bisa dilaksanakan pada hari kedelapan usai penguburan. Bisa juga dilakukan pada tahun berikutnya. Pilihan waktu pelaksanaan kenduri disampaikan langsung di hadapan jenazah menjelang penguburannya.

Jika pada hari ireng itu tidak dilaksanakan acara kenduri, maka hanya dilakukan ritual adat wentar lose atau lulung lose (gulung tikar) di rumah duka. Tikar ini sebelumnya digunakan saat semayamkan jenazah di rumah duka, lalu tetap dibentangkan hingga hari ireng tiba.

Malam usai penguburan hingga malam menjelang ireng, keluarga dan sejumlah warga kampung harus ada yang menjaga tikar ini hingga pagi. Tak boleh semuanya tertidur di rumah duka. Konon, kalau semuanya tertidur, roh orang meninggal itu akan membangunkan mereka.

Ritual adat lulung lose ini menggunakan sarana seekor ayam untuk menyampaikan torok, yaitu ungkapan-ungkapan adat kepada roh orang yang meninggal tersebut. Intinya, memberitahu roh tersebut bahwa begadang semalaman menjaga tikarnya sudah berakhir dan menyebutkan lagi waktu pelaksanaan acara kendurinya.

"Lulung lose artinya tidak ada lagi begadang jaga tikar," pungkas Lius Daja.




(iws/dpra)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads