Menurut tradisi Manggarai, Nusa Tenggara Timur, jenazah orang yang meninggal dunia disemayamkan di dalam rumah. Namun, mereka yang meninggal bukan karena sakit, jenazahnya disemayamkan di luar rumah: di halaman atau teras rumah. Itulah kematian dara ta'a.
Tradisi ini diwariskan secara turun temurun oleh orang di Kabupaten Manggarai Barat, Manggarai, dan Manggarai Timur. Tiga daerah ini memiliki akar budaya yang sama.
"Intinya mereka yang mati bukan karena sakit, jenazahnya disemayakan di halaman rumah, tidak boleh bawa masuk ke dalam rumah. Kematian seperti itu kategori dara ta'a," tutur tokoh adat di Manggarai, Fredieman Asmi, Senin (28/11/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Asmi menjelaskan, mereka yang jenazahnya disemayamkan di luar rumah atau dara ta'a adalah kematian yang belum waktunya. Dara ta'a ini juga dipahami sebagai kematian yang tidak wajar.
Adapun jenazah yang masuk kategoti dara ta'a antara lain meninggal dunia karena kecelakaan, korban pembunuhan, bunuh diri, perkelahian/tawuran, disambar petir, bencana alam, terseret arus sungai, dan lainnya.
Salah satu contoh warga yang jenazahnya disebut dara ta'a adalah Yuliana Ide (65). Warga Dusun Mbawar, Desa Bajak, Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai, NTT, itu meninggal dunia pada 24 Oktober 2022. Lantaran meninggal dianiaya anak kandungnya yang diduga ODGJ, jenazah Yuliana pun disemayamkan di teras rumah.
Tokoh adat Manggarai Barat, Agustinus Munjal menjelaskan, jenazah disemayamkan di luar rumah agar dara ta'a itu hanya terjadi padanya dan tidak menimpa anggota keluarga yang lain. Selain itu, di dalam diri dara ta'a dianggap memiliki roh binatang.
"Karena mati belum waktunya, jangan sampai terjadi lagi dara ta'a pada anggota keluarganya yang lain. Sampai di dia saja dara ta'a itu. Dia taruh di luar, dia tidak layak masuk dalam rumah," jelasnya.
Orang Manggarai juga meyakini kematian dara ta'a itu terjadi kemungkinan diturunkan dari leluhurnya yang pernah mengalami dara ta'a. Karenanya dibuat ritual adat, yang bertujuan agar dara ta'a itu hanya sampai pada korban yang sekarang, tidak lagi menimpa anggota keluarga yang lain.
Oke one wae lau, one Loho halet
Dalam ritual adat ini, keluarga akan menyembelih seekor ayam hitam di sungai. Darah dan ayam yang dibawa aliran air itu dimaknai dara ta'a itu pergi menjauh dari keluarga. Istilah adatnya, "Oke one wae lau, one Loho halet" (buang dara ta'a ke arah aliran sungai dan ke arah matahari terbenam).
"Mungkin ada garis keturunan nenek moyang keturunan dara ta'a, maka ada acara adat 'oke one wae lau, one Loho halet', potong ayam hitam. Jangan sampai menimpa lagi keluarga kematian seperti binatang," jelas Agus Munjal.
Ritual adat ini dilakukan menjelang pemakaman. Tetua adat akan menyampaikan torok, ungkapan-ungkapan adat di hadapan jenasah dan saat penyembelihan ayam hitam di sungai. Maksud Torok ini untuk menyampaikan bawa dara ta'a berhenti sampai di korban yang sekarang.
"Menjelang pemakaman potong ayam hitam di sungai. Kematian jangan disisakan untuk orang di belakang, sudah 'Oke one wae lau, one Loho halet'.
Torok awalnya di depan jenazah baru bawa ayam ke tempat yang ada air mengalir, seperti sungai," jelas Agus Munjal.
Selain ayam, juga disiapkan tali kuar yang khusus diambil dari hutan untuk ritual di sungai. Tali kuar itu dibelah di tengah, bukan dari ujungnya, sehingga membentuk lingkaran. Saat ritual potong ayam hitam di sungai itu, keluarga yang ditinggalkan korban berada dalam lingkaran tali kuar di sungai. "Keluarga mandi buang dara ta'a, namanya," ujar Agus Munjal.
Jika ritual adat ini tidak dilakukan, maka roh korban dara ta'a diyakini akan terus mendatangi keluarganya."Arwahnya datang lagi cari anggota keluarga lain untuk alami kejadian seperti dirinya. sehingga ada tanda-tanda terus di keluarga itu," katanya.
Selain ritual adat dan jenazah disemayamkan di luar rumah, perlakuan lain terhadap jenazah maupun acara-acara adat selanjutnya sama antara jenazah orang yang meninggal karena sakit dengan yang jenazahnya disemayamkan di dalam rumah.
(iws/dpra)