Perawat konselor pasien ODHA di Layanan Pengobatan dan Perawatan (LPDP) ODHA RSUD Komodo, Labuan Bajo, Rini Maria Denurmin mengungkap saat-saat tersulit pasien HIV/AIDS. Tak mudah bagi seseorang ketika menerima kenyataan hidup sebagai orang dengan HIV/AIDS (ODHA).
Menurut Rini, saat pertama kali seseorang mengetahui dirinya ODHA, ada yang menjadi takut, putus asa, hingga ingin bunuh diri. Ia mengaku, terkadang dirinya tidak tega melihat reaksi pertama kali pasiennya saat mengetahui positif terinfeksi HIV.
"Ketika pertama kali memberikan konseling hasil tes, saat buka hasil tes bersama klien, saya terkadang tidak tega melihat bagaimana hancurnya mereka saat tau terinfeksi HIV. Banyak reaksi seperti menolak, tidak percaya, putus asa, ingin bunuh diri, hilang harapan, takut, dan lainnya," ungkap Rini kepada detikBali, Kamis (1/12/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagi Rini, pengalaman itu adalah bagian tersulit yang dialaminya dalam konseling terhadap pasien ODHA. LPDP ODHA RSUD Komodo adalah satu-satunya pusat LPDP ODHA di Manggarai Barat.
Ia biasanya memotivasi pasiennya untuk tidak menyerah, bangkit dan melanjutkan hidup. Harapan hidup lebih lama tetap ada asalkan pasien mau menjalani terapi antiretro viral (ARV), yakni pengobatan untuk mengatasi infeksi akibat retrovirus seperti HIV.
Pengobatan ARV harus dilakukan seumur hidup. Sebab, obat yang dikonsumsi tidak menyembuhkan HIV/AIDS, tapi menekan virusnya agar tidak mereplikasi dirinya menjadi lebih banyak dalam tubuh.
"Saya selalu memotivasi mereka dengan mengatakan, Pada akhirnya semua manusia akan meninggal, orang yang tidak terinfeksi HIV pun bisa meninggal karena tiba-tiba kecelakaan, misalnya. Dari pada sedih dan putus asa, kita manfaatkan waktu terisa untuk bangkit, berubah dan bikin quality time dengan orang-orang terdekat karena ARV bisa buat hidup lebih lama'," ungkap Rini.
Ia mengungkap pasien ODHA yang menjadi kliennya berasal dari beragam latarbelakang. Ada pengusaha, pekerja seks komersial, ibu rumah tangga, PNS, pelaku pariwisata, petani, ojek, pekerja BUMN, guru hingga tenaga kesehatan.
Rini punya kekhwatiran tersendiri penularan HIV/AIDS pada kelompok LGBT. Penularan HIV di kalangan ini menurutnya lumayan masif. Ada dua sebabnya.
Pertama, ada pendapat bahwa penggunaan kondom hanya bagi pelaku seks heteroseksual (pria vs wanita). Aktivitas seks kelompok LGBT cendrung abaikan penggunaan kondom.
Kedua, kesulitan melakukan edukasi pencegahan penularan HIV/AIDS kepada kelompok LGBT. "Susah untuk masuk dalam kelompok LBGT ini lantaran mereka masih 'sembunyi-sembunyi', sehingga pihak dari institusi kesehatan kesulitan memberikan edukasi," kata Rini.
Stigma terhadap ODHA
Rini mengatakan kliennya tak mudah menjalani hari-hari sebagai ODHA. Mereka mendapat stigma dan perlakukan diskriminatif di lingkungan sosialnya yang menjadi tantangan berat dalam pemulihan mereka.
Stigma terhadap ODHA di antaranya HIV/AIDS adalah penyakit karena pergaulan bebas; penyakit HIV/AIDS adalah kutukan; kena HIV karena nakal, bebas, tidak beradab, dan lainnya. Adapun perlakuan diskriminatif seperti perubahan sikap orang terdekat setelah kliennya didagnosa HIV. ODHA cendrung diperlakukan berbeda atau khusus seperti memberikan tempat makan khusus, tempat tidur khusus dan jaga jarak.
"Akibat stigma dan diskriminasi yang masih tinggi, ODHA seringkali memutuskan untuk menyembunyikan status HIV-nya dari keluarga dan orang terdekat, sehingga ODHA seperti berjuang sendiri karena tidak ingin mempermalukan keluarga," jelas Rini.
Masih tingginya stigma dan diskriminasi terhadap ODHA, kata dia, dapat menghambat akses ODHA ke fasilitas kesehatan. Selain itu, support system ODHA yang kurang efektif, khususnya dukungan keluarga dan orang terdekat, bisa meningkatkan stress pada ODHA. Jika sudah begitu, sistem kekepalan tubuh mereka akan terganggu dan berefek pada lambatnya proses pemulihan.
Diketahui, ODHA di Kabupaten Manggarai Barat, NTT, meroket. Dalam 4 tahun terakhir, jumlah ODHA tertinggi terjadi dalam 11 bulan tahun 2022 sebanyak 30 orang. Penyebabnya adalah tingginya kasus seks bebas.
Pada tahun 2021, jumlah ODHA di Manggarai Barat tercatat sebanyak 19 orang, 2020 sebanyak 27 orang, dan 2019 sebanyak 25 orang. Sementara jika dihitung dalam periode 2017 hingga hingga November 2022, Manggarai Barat mencatat total ODHA sebanyak 125 orang. Rinciannya 4 anak-anak, 2 remaja berstatus pelajar, dan sisanya orang dewasa. Adapun jumlah ODHA yang meninggal dunia pada periode tersebut sebanyak 29 orang.
(iws/dpra)