Tak Semua Korban Kekerasan Seksual Berani Bersuara

Tak Semua Korban Kekerasan Seksual Berani Bersuara

Ni Made Lastri Karsiani Putri - detikBali
Kamis, 07 Jul 2022 00:15 WIB
Poster
Ilustrasi - Tidak semua korban kekerasan seksual berani bersuara terkait kasus yang dialaminya tersebut. Simak pandangan psikolog terkait hal tersebut. (Foto: Edi Wahyono)
Denpasar -

Kasus dugaan kekerasan seksual dengan korban 10 orang mahasiswi di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), menggemparkan publik. Menurut pengakuan salah seorang korban berinisial G, tidak semua korban berani bersuara terkait kasus tersebut. Lantas, bagaimana pandangan psikolog terkait fenomena tersebut?

Psikolog Ni Made Trisna Susanti menyebut korban kekerasan seksual cenderung mengalami gangguan psikologis berupa gangguan emosional, gangguan perilaku, maupun gangguan kognisi.

"Sebagian orang yang mengalami trauma akan merasakan cemas, was-was, bahkan ketakutan yang sangat saat mengalami suatu kejadian yang mirip dengan tindak kekerasan seksual yang pernah dialami. Hal ini tidak dapat dihindari karena merupakan salah satu dampak psikologis dari kekerasan seksual," ucap Ni Made Trisna Susanti kepada detikBali, belum lama ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dari sisi pelaku kekerasan seksual, sering kali merasa korban mudah ditaklukkan. Pelaku merasa bahwa dirinya lebih superior sehingga korban ditempatkan dalam posisi subordinasi yang harus dikuasai.

Psikolog di Dian Selaras Layanan Psikologi dan Hipnoterapi Denpasar itu menjelaskan, ada beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang bisa menjadi pelaku. Di antaranya, hasrat seks yang tidak bisa disalurkan dengan pasangannya. Hal inilah yang menyebabkan pelaku menyalurkan nafsunya dengan melakukan kekerasan seksual.

Sementara itu, dosen Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana (Unud), I Gusti Ayu Putu Wulan Budisetyani menjelaskan, ketika telah terjadi kekerasan seksual, korban harus berani melaporkan hal tersebut. Ia mendorong para korban kekerasan seksual untuk speak up.

"Speak up juga tidak selalu harus bicara atau verbal langsung. Korban bisa menulis surat dan mengirim kepada teman atau orang terdekatnya sebagai pertanda. Karena kalau kita sebagai korban tidak mau berbicara atau memberikan petunjuk, orang lain pun tidak akan tahu dan tidak bisa menolong. Jangan malu dan nggak usah takut," katanya.

Sebelumnya, tiga dari 10 mahasiswi korban kekerasan seksual di Kota Mataram telah melapor ke Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (UPPA), Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda NTB, Rabu (29/6/2022). Mereka melaporkan terduga pelaku, yakni seorang pria berusia 65 tahun yang disebut-sebut mengaku sebagai dosen swasta di salah satu kampus di Kota Mataram. Menurut laporan, terduga pelaku beraksi dengan menyebut dirinya bisa membantu para korban membuat skripsi, menyelesaikan masalah pribadi, hingga bisa membuang sial.

Salah satu korban kekerasan seksual di Kota Mataram, G, menyebut para mahasiswi (korban) datang ke rumah pelaku diduga dengan tujuan yang sama untuk melakukan konsultasi mengerjakan skripsi. Korban G menduga pelaku mengetahui para korban melapor ke Polda NTB. Pasalnya, sejak pelaporan ke Polda NTB tanggal 29 Juni 2022 lalu, pelaku rupanya tidak lagi meminta kepada para korban untuk berkunjung ke kediaman pelaku.

"Banyak korban dari teman-teman saya itu tidak kooperatif saat ditanya apa yang dilakukan pelaku. Hanya dua orang saja yang berani speak up. Intinya para korban mau dapat keadilan. Saya capek lihat mereka, teman saya rusak mentalnya," kata G kepada detikBali, Selasa (5/7/2022) di Mataram.

Ia pun meminta Polda NTB segera memeriksa pelaku yang belakangan diketahui sebagai dosen gadungan bergelar SH, MH tersebut. "Hanya itu yang kami minta, keadilan. Saya takut kalau ada korban lain yang bernasib sama dengan kami," kata korban.




(iws/iws)

Hide Ads