Pengacara IWAS, Ainuddin, meragukan keaslian video IWAS (21) merayu mahasiswi yang menjadi korbannya. IWAS merupakan difabel tanpa kedua tangan yang menjadi kasus tersangka pelecehan seksual terhadap mahasiswi.
Sebelumnya, video rekaman pembicaraan IWAS dengan seorang mahasiswi di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), beredar luas. Video itu juga menjadi salah satu bukti yang dikantongi polisi.
"Itu (video) kami tidak mendapatkan dari sumber yang sama. Bukan dari satu sumber yang sama. Itu kan beredar, ada yang di TikTok, ada juga di media sosial berupa Instagram. Jadi, ya, kami mengatakan kami meragukan keaslian, terkecuali kalau keluar dari instansi yang kompeten," kata Ainuddin kepada detikBali, Selasa (10/12/2024) malam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengacara Sebut Video Harus Diuji Forensik
Menurutnya, publik juga tidak bisa menerima secara mentah-mentah terkait video tersebut. Ia menjelaskan bahwa video harus diuji terlebih dahulu untuk mengetahui kebenarannya.
"Iya dong (harus ada uji forensik). Sumber berita itu dari mana dulu, kalau media hanya melihatnya dari (media sosial). Kalau Agus mengatakan kalau itu benar suaranya tetapi bukan seperti ini. Saya merasakan kok dilebih-lebihkan, dipotong, dan segala macam. Mengapa yang baik-baik tidak ada? Itu seharusnya tidak boleh, yang digunakan haruslah rekaman aslinya," ujarnya.
Ia mengatakan IWAS belum mendengar secara langsung rekaman video yang beredar tersebut. IWAS mengetahui video tersebut hanya dari penyidik.
"Agus belum pernah mendengar itu sepertinya. Terkecuali yang diperdengarkan oleh penyidik," tegasnya.
Video Menjadi Bukti Baru
Sebelumnya, Polda NTB menyebut telah mengantongi bukti baru terkait kasus dugaan pelecehan seksual yang dilakukan pria difabel tanpa tangan itu. Bukti baru tersebut berupa video saat pria tunadaksa itu memperdaya korban.
"Korban sempat merekam pelaku yang mendekati korban melalui HP korban. Bukti itu berbentuk video. Karena diletakkan di bawah (saat merekam), tidak nampak gambarnya. Hanya suara, tetapi yang pasti itu format video," kata Dirreskrimum Polda NTB Kombes Syarif Hidayat di Mataram, Sabtu (7/12/2024).
Syarif mengatakan video tersebut akan diuji secara forensik digital. Video itu direkam saat korban berkenalan dengan IWAS, bukan saat terjadinya pelecehan seksual di homestay.
"Ada kalimat-kalimat yang manipulatif, ada kalimat-kalimat yang memanfaatkan kelemahan korban, ini yang kami akan dalami," imbuh Syarif.
Korban Minta Perlindungan LPSK
Lima korban pelecehan seksual oleh pria difabel inisial IWAS di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), mengajukan permohonan perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Hal itu dilakukan karena korban mengalami trauma yang cukup berat pascakejadian.
"Ada lima orang. Lima orang korban dewasa yang sudah mengajukan," kata pendamping korban, Ade Latifa saat ditemui awak media di Mapolda NTB, Selasa (10/12/2024).
Menurut Ade, total korban yang sudah menjalani pemeriksaan di Polda NTB sebanyak tujuh orang. Dua di antaranya merupakan korban anak-anak yang saat ini didampingi langsung oleh Lembaga Perlindungan Anak (LPA).
"Iya sudah (BAP). Total yang sudah memberikan keterangan sebenarnya ada tujuh, tetapi duanya adalah korban anak dan itu didampingi LPA langsung," imbuhnya.
Ade mengatakan korban mengajukan permohonan perlindungan dari LPSK bukan karena adanya ancaman dari luar. Namun, dia menegaskan korban mengalami trauma cukup berat.
"Sebenarnya ancaman secara langsung yang diterima oleh korban memang tidak ada, cuma dengan ramainya ini kan korban masih dapat akses melihat bagaimana pro-kontra yang ada di masyarakat juga kan. Dan itu yang membuat korban benar-benar masih dalam kondisi cukup trauma sampai sekarang," bebernya.
Menurut Ade, korban sampai saat ini belum berani muncul sama sekali. Ketakutan itu juga menjadi alasan mereka untuk mengajukan permohonan pendampingan kepada LPSK.
"Tetapi bagaimanapun walaupun tidak ada ancaman secara langsung kan, tetap perlindungan untuk korban itu kan perlu dijamin. Makanya kami tetap kemudian mengajukan perlindungan ke LPSK," tegasnya.
IWAS Diperiksa
Sebelumnya, tersangka IWAS diperiksa di Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda NTB, Senin (9/12/2024). Tersangka pelecehan seksual itu memenuhi panggilan polisi didampingi pengacaranya.
"Kami mengagendakan untuk melakukan pemeriksaan tambahan terhadap tersangka atas nama Agus," kata Direktur Reskrimum Polda NTB, Kombes Syarif Hidayat, kepada awak media di Mapolda NTB, Senin sore.
Menurut Syarif, IWAS mendatangi Polda NTB didampingi kuasa hukumnya yang baru. Menurutnya, hal itu juga sebagai salah satu pemenuhan hak-hak pelaku dalam mendapatkan pendampingan hukum.
"Sampai saat ini pemeriksaan masih terus berjalan dan hari ini juga didampingi oleh pengacara yang baru hari ini dan sudah kami terima surat kuasa pendamping dari yang baru," ujar Syarif.
Syarif menegaskan penahanan terhadap IWAS sudah diperpanjang sejak beberapa hari lalu. Karena itu, IWAS masih menjadi tahanan rumah hingga 40 hari ke depan.
Alasan Korban Melapor
Para korban pelecehan seksual IWAS awalnya takut melaporkan kejadian yang menimpa mereka. Mereka takut bersuara karena khawatir tak dipercayai oleh publik.
Diketahui, kasus dugaan pelecehan seksual ini mencuat setelah seorang mahasiswi di Mataram berinisial MA melaporkan IWAS ke Polda NTB. Pelaku saat ini berstatus tersangka dan dikenakan tahanan rumah. Korban dugaan IWAS sampai saat ini mencapai 17 orang.
"Jadi ketakutan korban untuk kemudian tidak ada yang mempercayainya itu membuat korban selama ini banyak tidak muncul," kata pendamping para korban, Ade Latifa, di Mataram, Selasa.
Kasus ini meluas setelah MA melaporkan IWAS atas dugaan pemerkosaan. Beberapa korban kemudian mulai bermunculan.
"Nah, korban-korban lain kenapa baru muncul sekarang tentu ini sebenarnya sesuatu yang bisa dilihat sendiri sekarang dengan adanya satu korban yang berani masyarakat masih ada yang sulit percaya," imbuhnya.
Ia mengatakan saat ini para korban sudah mulai menunjukkan keberaniannya untuk bersuara. Bahkan saat ini total 7 korban sudah diperiksa sebagai saksi, dua di antaranya merupakan korban anak-anak.
"Tetapi justru dengan kekuatan pelapor ini yang sampai sekarang masih kuat untuk meneruskan proses hukum ini justru memotivasi korban lain untuk berani speak up," tegasnya.
(hsa/iws)