Mary Jane Veloso, seorang tenaga kerja wanita asal Filipina, ditangkap di Bandara Internasional Adisutjipto, Yogyakarta, pada 25 April 2010. Ia kedapatan membawa 2,6 kilogram heroin yang disembunyikan dalam koper. Veloso saat itu mengaku tidak mengetahui isi koper tersebut dan mengatakan bahwa dirinya dijebak oleh seorang perekrut kerja.
Kasus ini menarik perhatian luas, terutama di Filipina, karena Mary Jane dianggap sebagai korban perdagangan manusia. Dukungan dari keluarga, pemerintah Filipina, dan kelompok-kelompok hak asasi manusia pun terus berdatangan untuk membebaskan Mary Jane dari ancaman hukuman mati.
Proses Hukum di Indonesia
Setelah penangkapannya, Mary Jane menjalani proses persidangan di Indonesia. Pada Oktober 2010, Pengadilan Negeri Sleman menjatuhkan vonis hukuman mati kepada Mary Jane atas tuduhan menyelundupkan narkoba. Vonis tersebut kemudian diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Yogyakarta pada Desember 2010, dan Mahkamah Agung pada 2011 menolak kasasi yang diajukannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Upaya hukum lain, seperti peninjauan kembali (PK), juga diajukan oleh tim kuasa hukum Mary Jane. Dalam permohonannya, mereka menegaskan bahwa Mary Jane hanyalah kurir narkoba yang tidak tahu-menahu tentang isi koper yang dibawanya. Namun, PK pertama ditolak pada 2015, mempertegas ancaman hukuman mati bagi Mary Jane.
Hampir Dieksekusi pada 2015
Mary Jane termasuk dalam daftar terpidana mati gelombang kedua yang akan dieksekusi oleh Kejaksaan Agung Indonesia pada April 2015. Ketika itu, tekanan internasional memuncak. Pemerintah Filipina secara resmi meminta Indonesia untuk menunda eksekusi karena Mary Jane dianggap sebagai saksi penting dalam kasus perdagangan manusia di Filipina.
Pada saat-saat terakhir, Presiden Joko Widodo memutuskan menunda eksekusi Mary Jane. Penundaan ini dilakukan agar Mary Jane dapat memberikan kesaksian dalam proses hukum terhadap sindikat perdagangan manusia yang merekrut dan menjebaknya. Penundaan tersebut memberikan secercah harapan bagi Mary Jane dan pendukungnya.
Perjalanan Kasus di Filipina
Sementara di Filipina, kasus ini memicu perhatian besar terhadap isu perdagangan manusia dan perlindungan pekerja migran. Mary Jane Veloso adalah korban perekrutan kurir narkoba, sebagaimana tercatat dalam dokumen persidangan di Filipina.
Mary Jane Veloso sejatinya adalah seorang pekerja migran asal Filipina dan seorang ibu dari dua anak, menurut LBH Masyarakat yang selama ini mengadvokasi kasus tersebut.
Mary Jane pernah bekerja di Dubai, tapi dia pulang setelah mengaku menerima percobaan pemerkosaan oleh majikannya.
Pada 18 April 2010, Mary Jane ditawari oleh tetangganya, Maria Cristina Sergio, untuk bekerja sebagai pekerja rumah tangga di Malaysia. Mary Jane membayar 20.000 Peso untuk biaya keberangkatannya.
Pada 22 April 2010, Mary Jane berangkat bersama Cristina Sergio ke Malaysia. Selama tiga hari tinggal di Malaysia, Mary Jane dibelikan baju dan berbagai barang.
Setelah itu Cristina Sergio menyampaikan bahwa pekerjaan di Malaysia sudah tidak tersedia, tapi dia berjanji akan mencarikan pekerjaan. Sembari mencari pekerjaan Cristina meminta Mary Jane menunggu di Indonesia.
Pada 25 April 2010, Cristina Sergio meminta Mary Jane pergi ke Yogyakarta dan memberinya sebuah koper dengan upah US$ 500.
Setibanya di Bandara Yogyakarta, Mary Jane ditangkap karena di bagian lapisan dalam koper yang diberikan Cristina terdapat heroin seberat 2,6 kilogram.
Pada 28 April 2015 atau sehari sebelum Mary Jane dieksekusi mati di Nusakambangan, Cristina menyerahkan diri ke kepolisian Cabanatuan, Filipina.
Dia mengaku makin banyak menerima ancaman mati saat eksekusi Mary Jane kian dekat.
Pada 2020, Cristina Sergio dan Julius Lacanilao dijatuhi vonis bersalah oleh para hakim Pengadilan Negeri Nueva Ecjia di Filipina atas kasus perekrutan ilegal.
Mary Jane Bebas
Mary Jane Veloso tak lama lagi akan dipulangkan ke negaranya, Filipina. Ini adalah akhir kisah dramatis wanita yang dijatuhi hukuman mati karena menyelundupkan narkoba ke Indonesia.
Ihwal pembebasan Mary Jane diungkapkan langsung oleh Presiden Filipina Ferdinand Romualdez Marcos Jr (Bongbong Marcos). Marcos bilang, pemulangan terpidana mati itu adalah buah perjuangan panjang, negosiasi alot dengan pemerintah Indonesia.
"Setelah lebih dari satu dekade diplomasi dan konsultasi dengan pemerintah Indonesia, kita berhasil menunda eksekusinya cukup lama untuk mencapai kesepakatan untuk akhirnya membawanya kembali ke Filipina," kata Marcos dalam sebuah pernyataan, dilansir detikNews dari AFP, Rabu (20/11/2024).
"Hasil ini merupakan cerminan dari dalamnya kemitraan negara kita dengan Indonesia-bersatu dalam komitmen bersama untuk keadilan dan belas kasih," ujar Marcos dalam sebuah pernyataan.
Marcos juga menyampaikan rasa terima kasih kepada Indonesia dan Presidennya, Prabowo Subianto.
(dpw/gsp)