Kasus kekerasan seksual disebut paling banyak terjadi di Bali. Namun, sebagian kasus justru diselesaikan dengan keadilan restoratif atau restorative justice (RJ).
Komisioner Komnas Perempuan Reiny Hutabarat sangat menyayangkan hal itu. Dia meminta para pelaku kekerasan seksual, apapun jabatannya, harus bertanggung jawab. Baik secara hukum maupun moral.
Menurut Reiny, bentuk pertanggungjawaban bukanlah dengan menikahkan korban kekerasan seksual dengan pelakunya. Itu yang selama ini sering terjadi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sebenarnya nggak bisa RJ. Karena RJ itu solusi damai. Pelaku mau dikawinkan (dinikahkan dengan korban), nggak boleh. Sebenarnya, korban dapat restitusi, pemulihan, ganti rugi, dan dilibatkan (dalam) penyelesaian kasus," kata Reiny di Kuta, Badung, Senin (2/10/2023).
Selain menuntut pertanggungjawaban, Sylvana juga meminta para penegak hukum menerapkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Menurutnya, hak korban kekerasan seksual dapat terpenuhi ketika aparat mengenakan pelakunya dengan UU TPKS ketimbang harus RJ.
"Kami mendorong pemerintah, percepatan perundang-undangan TPKS, agar bisa berlaku semua. Dengan demikian, (penyelesaian kasus) penyiksaan seksual bisa mencakup semua hak-hak korban," kata Reiny.
Sementara itu, komisioner Komnas HAM Anis Hidayah menilai kecenderungan polisi dan jaksa kurang gencar menerapkan TPKS karena ada undang-undang turunannya yang belum diselesaikan pemerintah. Padahal, ketika UU TPKS sudah dinyatakan berlaku, polisi dan jaksa dapat langsung menindak pelaku kekerasan seksual.
"Karena begitu (UU TPKS) dinyatakan berlaku, maka kemudian aparat harus menggunakan undang-undang itu untuk setiap kasus TPKS yang terjadi. Setidaknya sembilan bentuk TPKS yang diatur di dalam UU TPKS," kata Anis.
Faktor lainnya adalah kurangnya pemahaman jaksa dan polisi terkait UU TPKS. Abis menyebut polisi dan jaksa lebih paham menangani satu jenis tindak pidana kekerasan seksual yang tercantum di KUHP ketimbang di UU TPKS.
Untuk itu, dia menyarakan agar polisi dan jaksa menggunakan UU TPKS. Selain ancaman hukumannya lebih berat, UU TPKS memberikan perlindungan yang lebih baik bagi korban kekerasan seksual.
(hsa/dpw)