Kejaksaan Negeri (Kejari) Jembrana menghentikan proses hukum kasus dugaan penganiayaan yang dilakukan oleh Habidin (42) terhadap Muhibin (43), warga Desa Cupel, Kecamatan Negara, Jembrana. Penghentian proses hukum dilakukan dengan upaya keadilan restoratif atau restorative justice.
Untuk diketahui, Habidin terhitung adik ipar Muhibin. Istri Muhibin adalah saudara sepupu Habidin.
Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Jembrana Salomina Meyke Saliama mengatakan penghentian proses hukum dilakukan karena telah memenuhi syarat keadilan restoratif. Pelaku beserta korban juga sudah melakukan penyelesaian perkara dan sepakat berdamai.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Awalnya salah paham. Namun, sudah selesai dan tidak ada masalah lagi. Keadilan restoratif merupakan salah satu alternatif penyelesaian perkara pidana yang menekankan pada pemulihan kembali hubungan antara korban dan pelaku," ungkap Meyke kepada awak media, Kamis (21/9/2023).
Menurut Meyke, keadilan restoratif juga bertujuan untuk mencegah terjadinya tindak pidana serupa di kemudian hari. "Ini sebagai salah satu langkah penyelesaian masalah," tambahnya.
Kasus penganiayaan tersebut bermula saat Habidin dan Muhibin pergi ke kebun kelapa di Desa Cupel pada 15 Agustus 2023. Di sana, Habidin menanyakan Muhibin apakah pernah bersetubuh dengan istrinya. Muhibin menjawab tidak pernah. Namun, Habidin telanjur emosi dan memukul Muhibin dengan tangan kanan.
Muhibin terjatuh dan Habidin kembali memukul di bagian pipi kiri. Muhibin lantas berlari meminta pertolongan.
Setelah dilakukan mediasi, Habidin dan Muhibin sepakat berdamai. Habidin juga meminta maaf kepada Muhibin dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya.
Tercatat hingga September 2023, Kejari Jembrana sudah lima kali menyelesaikan menyelesaikan perkara melalui keadilan restoratif. Namun, ada beberapa perkara yang tidak disetujui Kejaksaan Agung dengan beberapa pertimbangan.
"Untuk 2022 ada tujuh perkara yang diselesaikan melalui keadilan restoratif. Tetapi, tidak seluruh perkara bisa diselesaikan dengan keadilan restoratif, rata-rata kasus dengan ancaman tidak lebih dari dua tahun itu memungkinkan dilaksanakan," tandas Meyke.
(hsa/gsp)