Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki beragam jenis tarian unik, yang mencerminkan karakteristik masyarakatnya. Salah satunya yang terkenal adalah Tari Lego-lego, yang dipopulerkan oleh Suku Abui di Kabupaten Alor.
Tarian ini bisa dilakukan dengan bergandengan tangan antara pria dan wanita yang membentuk formasi lingkaran untuk mengelili Mesbah. Tujuannya adalah sebagai ungkapan rasa syukur kepada leluhur dan tuhan yang sudah memberikan kegembiraan dan kemakmuran untuk masyarakat Suku Abui.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk mengetahui lebih lanjut, simak ulasan berikut ini. Informasi ini dirangkum dari buku yang ditulis oleh Satyananda, Sudarma, Nuryahman, Sanjaya, & Dwikayana (2017) yang berjudul Tari lego-lego di Kabupaten Alor Nusa Tenggara Timur.
Sejarah Tari Lego-lego
Tari Lego-lego memiliki sejarah yang erat dengan leluhur masyarakat Alor, khususnya lima putra Mau Wolang yang diyakini sebagai kelompok pertama yang mendiami Pulau Alor. Lima saudara tersebut adalah Abui, Bunga Bali, Blagar, Pandai, dan Baranusa. Masing-masing kemudian berkembang menjadi suku-suku besar di Alor.
Dalam sejarah lisan masyarakat, Suku Abui menjadi pemimpin pertama yang memerintah wilayah Alor dan sebagai suku terbesar di pulau tersebut. Asal-usul tari Lego-lego dipercaya berasal dari bisikan gaib para leluhur yang dikenal sebagai roh suci Loki dan Kati. Pada suatu malam, para tetua mendengar nyanyian yang datang dari kedua roh tersebut.
Keesokan harinya, mereka berkumpul tengah mesbah (tempat sakral bagi suku yang ada di Pulau Alor) untuk menyanyikan bisikan tersebut. Tidak disangka, banyak para penari mengalami kesurupan, yang menandakan leluhur merak hadir. Sejak saat itulah tarian Lego-lego mulai dilakukan sebagai bagian dari kehidupan spiritual masyarakat Alor. Tarian ini kemudian diwariskan dari generasi ke generasi, agar tetap menjaga kelestarian.
Kata Lego-lego sendiri dalam bahasa Suku Abui berarti hentakan kaki ke kanan dan kiri. Ini merupakan gerakan yang ada dalam tarian Lego-lego yang terinspirasi dari bunyi bisikan gaib "eeeeee" dan "ooooo" yang dahulu didengar para tetua. Pada masa awalnya, tarian ini dipentaskan saat upacara adat sebagai simbol rasa syukur, kebersamaan, dan penghormatan kepada leluhur. Seiring berjalanya waktu, tari lego-lego menjadi simbol identitas budaya masyarakat Alor yang menunjukkan persatuan, kegembiraan, dan kebersamaan mereka.
Prosesi Pelaksanaan Tari Lego-lego
Tari Lego-lego diikuti oleh banyak penari, baik laki-laki maupun perempuan. Ciri khas dari tarian ini adalah Para penari berdiri saling bergandengan dan membentuk lingkaran. Mereka akan memakai pakaian adat khas Alor dan para perempuan membiarkan rambutnya terurai.
Pada bagian kaki penari akan dipasang gelang perak atau kuningan yang berbunyi ketika digerakkan. Dalam pelaksanaannya, penari akan menyanyikan lagu dan pantun adat yang diiringi gong dan gendang kuningan/moko.
Pelaksanaan Tari Lego-lego dimulai dengan berkumpulnya para penari di Mesbah. Setelah semua lengkap, mereka akan naik ke mesbah. Selanjutnya, penari membentuk lingkaran yang selang-seling laki-laki dan perempuan. Tarian Lego-lego dimulai saat pemandu tarian berteriak menyebutnya "Ooo Ui" sebagai tanda bahwa pertunjukan siap dimulai.
Kemudian penari saling merangkul secara selang-seling antara laki-laki dan perempuan. Posisi tangan saat merangkul, yaitu laki-laki memeluk bahu perempuan, sedangkan perempuan memeluk pinggang laki-laki. Mereka kemudian melantunkan syair-syair yang berkaitan dengan acara.
Lantunan itu diikuti dengan gerakan kaki maju mundur dan kanan kiri. Gerakan ini harus kompak, karena sangat mempengaruhi suara gelang kaki yang dipakai. Pelaksanaannya bisa sampai pagi. Ketika prosesi Lego-lego berakhir, biasanya acara ditutup dengan Tari Kure atau Cakalele yang dilakukan oleh anak laki-laki pertama kepala suku sebagai ungkapan syukur dan kegembiraan.
Fungsi Tari Lego-lego
Tarian Lego-lego memiliki fungsi yang beragam bagi kehidupan masyarakat Alor. Mulai dari sebagai sarana hiburan, baik untuk menyambut tamu maupun setelah warga bergotong royong menyelesaikan pekerjaan besar.
Tarian ini juga sering menjadi bagian dari pesta penobatan pejabat adat atau pemerintahan. Masyarakat Alor percaya bawah pejabat yang tidak menggelar tarian ini masa jabatannya tidak akan berlangsung lama. Tarian ini juga dipakai sebagai sarana perdamaian jika ada dua suku atau kampung yang berselisih. Selain itu, tarian ini juga dilakukan dalam upacara kedukaan sebagai penghormatan bagi orang yang telah meninggal.
(nor/nor)










































