Meski zaman sudah modern, alat musik tradisional nyatanya tidak pernah lekang oleh zaman. Misalnya Rindik, alat musik asal Bali yang produksinya semakin menjamur di kalangan perajin.
Rindik, adalah alat musik tradisional khas Pulau Dewata yang salah satunya berbahan dasar bambu, selain suling. Kebanyakan alat musik di Bali, selain terbuat dari logam, ada juga yang terbuat dari kuningan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Patut berbangga bahwa rindik makin dikenal luas masyarakat Eropa dan Asia Timur seperti Jepang dan China. Pemasarannya malahan sudah ada yang menembus pasar negara-negara tersebut.
Seperti yang diungkap perajin rindik di Desa Mambal, Kecamatan Abiansemal, Badung, Nyoman Purwayasa alias Manik. Dia sudah menjual produknya ke Jepang. Kata dia, rindik diminati warga asing karena bunyi yang dihasilkan sangat halus sehingga menenangkan saat didengar.
"Bagi tamu (wisatawan) itu suaranya (rindik) unik, merdu, bisa menenangkan. Rindik ini kan sudah banyak, bisa dimainkan di hotel, resto, malah di bandara saat penyambutan tamu ada, jadinya dikenal," tutur Manik saat ditemui di bengkel kerjanya, Minggu (10/8/2025).
Manik mulai menggeluti kerajinan rindik sejak 2015 saat ia serius menekuni kesenian. Ia beralasan memilih seni musik tradisional untuk meneruskan budaya desa setempat yang kala itu mulai jarang yang memainkan rindik.
"Kalau di keluarga, semacam sudah membudaya lama. Saya tuh ingin tetap memasyarakatkan alat musik ini di Bali. Biar nggak hilang saja," kata Manik seraya menyebut tidak banyak perajin rindik di Badung.
![]() |
Berbekal kemampuan memainkan gamelan, ia mencoba membuat rindik untuk dimainkan sendiri. Beberapa tahun berselang, Manik memulai produksi rindik untuk dijual ke berbagai daerah. Manik menyebut, tidak ada yang berbeda dari rindik yang dibuat pengrajin di daerah lain.
"Bahan utama sudah pasti bambu, ada bambu khusus, adanya di Bali. Tetapi sekarang sudah mulai sulit didapat. Bambunya harus yang sudah berusia matang," ucap ayah dua anak ini.
Manik hanya dibantu ayahnya saat membuat rindik. Selama proses pengerjaan itu, ia memanfaatkan bambu yang sudah berusia tua, dipotong, lalu dijemur selama beberapa hari. Setelah dianggap siap barulah bambu-bambu itu dipilah, dan dipotong sesuai ukuran, dan menyesuaikan bunyi yang diinginkan.
"Proses rakitan itu ya sehari bisa dapat 2-3 rindik. Kalau ukuran besar, sehari dapat 1-2 rindik. Itu sudah proses rakit, dicat, di-finishing istilahnya karena bahan utamanya itu sudah diolah sebelumnya," jelas dia.
Yang membedakan rindik buatannya dengan yang lain ada pada dudukan rindik yang bisa dibongkar pasang alias sistem knockdown. Kata Manik, tujuannya agar rindik bisa ringkas saat dibawa, sehingga memudahkan pemainnya berpindah-pindah lokasi, dan efisien secara waktu.
"Rindik ini sudah dimainkan di beberapa tempat. Pemainnya sudah ada yang profesional, menerima tawaran main di mana-mana, acara nikahan, acara resmi, manggung itu ada. Jadi saya rancang supaya bisa dibongkar-pasang," terang Manik.
Hal itu juga yang membuat Manik kebanjiran pembeli mancanegara. Kata dia, penasaran dilakukan di berbagai kesempatan, mengikuti pameran dan tampil di beberapa tempat. Informasi mulut ke mulut juga membuat Manik banyak dihubungi pembeli warga negara asing (WNA).
"Eropa itu pernah saya kirim, Jepang juga sering. Sistem knockdown itu yang bikin tamu tertarik. Tapi sebelum itu, mereka juga mencoba dulu belajar, dan perlahan bisa mainnya. Akhirnya dipesan dibawa pulang. Jadi ringkas nggak terlalu besar di cargo," bebernya.
![]() |
Menurut Manik, harga jual rindik di pasaran terbilang masih murah. Untuk ukuran kecil yang dipakai anak-anak berkisar Rp 250 ribu-Rp 500 ribu, sedangkan ukuran sedang sampai jenis profesional dipatok Rp 800 ribu sampai Rp 1,5 juta paling mahal. Harga itu juga menyesuaikan model finishing-nya yang premium.
(nor/hsa)