Sejarah Layang-layang hingga Kisah Rare Angon di Bali

Sejarah Layang-layang hingga Kisah Rare Angon di Bali

I Dewa Made Krisna Pradipta - detikBali
Selasa, 05 Agu 2025 09:41 WIB
Sejumlah peserta berusaha menangkap layang-layang tradisional Bali yang diturunkan saat mengikuti perlombaan pada Festival Layangan Piala Gubernur Bali 2024 di Pantai Padanggalak, Denpasar, Bali, Minggu (21/7/2024). Kegiatan yang diselenggarakan oleh Komunitas Seni Layanan Bali bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Bali tersebut diikuti 1.340 peserta  untuk pelestarian permainan tradisional Bali. ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo/wpa.
Ilustrasi - Sejumlah peserta berusaha menangkap layang-layang tradisional Bali yang diturunkan saat mengikuti perlombaan pada Festival Layangan Piala Gubernur Bali 2024 di Pantai Padanggalak, Denpasar, Bali. (Foto: ANTARA FOTO/NYOMAN HENDRA WIBOWO)
Denpasar -

Musim layang-layang telah tiba. Langit Bali kini dihiasi aneka layang-layang dengan beragam bentuk dan ukuran.

Biasanya, musim layang-layang berlangsung mulai Mei hingga September. Orang Bali menyebut penerbang layang-layang atau pelayang sebagai Rare Angon, anak gembala. Warga juga membentuk kelompok atau sekaa layangan untuk membuat hingga menerbangkan layang-layang bersama-sama.

Bermain layang-layang atau melayangan tidak terlepas dari tradisi agraris yang berkembang di Bali pada masa lalu. Tradisi menerbangkan layang-layang juga kerap dikaitkan dengan kisah Rare Angon sebagai manifestasi dari Dewa Siwa.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Simak sejarah layang-layang hingga kisah Rare Angon di Bali seperti dirangkum detikBali berikut ini.

ADVERTISEMENT

Sejarah Layang-Layang di Bali

Tak diketahui pasti kapan layang-layang pertama di Bali mengudara. Namun, melayangan sudah menjadi diwariskan sebagai sejak ratusan tahun.

Layang-layang berkaitan erat dengan budaya agraris atau pertanian di Pulau Dewata. Sebagian pelayang di Bali juga melakukan ritual pemujaan kepada para dewa, terutama kepada manifestasi Dewa Siwa sebagai Dewa Rare Angon (Dewa Penjaga Anak-anak) dan Dewa Bayu (dewa angin).

Menurut kepercayaan Hindu Bali, layang-layang adalah simbol 'surat' atau persembahan kepada langit. Layang-layang menjadi bentuk komunikasi antara manusia dengan dewa.

Dahulu, para petani di Bali menerbangkan layang-layang sebagai upaya memohon angin yang baik untuk musim tanam. Ini dianggap sebagai cara spiritual untuk menjaga harmoni antara manusia dan alam sesuai konsep Tri Hita Karana.

Selain itu, ada juga yang menyebutkan leluhur Bali zaman dulu menerbangkan layang-layang untuk bersenang-senang dan bersyukur pascapanen. Selain di daerah pertanian, banyak bukti menjelaskan jika tradisi melayangan ini juga lahir di daerah pesisir seperti di Sanur hingga Kuta.

Kisah Rare Angon

Tradisi melayangan di Bali erat kaitannya dengan mitologi Sang Hyang Rare Angon. Para petani tradisional di Bali meyakini Rare Angon sebagai manifestasi Dewa Siwa yang turun ke bumi untuk melindungi segala tumbuhan dan menghindarkan tanaman dari serangan hama dan penyakit.

Rare Angon berarti anak gembala. Konon, Rare Angon turun ke bumi dengan diiringi tiupan seruling bertanda untuk memanggil angin.

Setelah musim panen, para petani terutama anak gembala, mempunyai waktu senggang yang mereka gunakan untuk bersenang-senang. Sambil menjaga ternaknya, salah satu permainan yang sering dilakukan adalah bermain layang-layang.

Jenis Layangan Tradisional Bali

Di Bali, ada tiga jenis layangan tradisional yang lumrah yakni bebean, janggan, dan pecukan.

1. Layangan Bebean

Sejumlah peserta berusaha menangkap layang-layang tradisional Bali yang diturunkan saat mengikuti perlombaan pada Festival Layangan Piala Gubernur Bali 2024 di Pantai Padanggalak, Denpasar, Bali, Minggu (21/7/2024). Kegiatan yang diselenggarakan oleh Komunitas Seni Layanan Bali bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Bali tersebut diikuti 1.340 peserta  untuk pelestarian permainan tradisional Bali. ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo/wpa.Layang-layang bebean menghiasi langit Pantai Padanggalak, Denpasar, Bali, Minggu (21/7/2024). (Foto: ANTARA FOTO/NYOMAN HENDRA WIBOWO)

Layangan bebean diangkat dari bentuk 'be' yang artinya ikan. Layangan bebean berarti bentuk ikan dengan ciri-ciri memiliki sirip dan ekor bercabang dua.

Sirip ikan ditransformasikan menjadi sirip layangan dibuat dari kain lembaran tanpa konstruksi sehingga ketika dinaikan akan diterpa angin, dan bergerak-gerak sangat dinamis bak sirip ikan.

2. Layangan Janggan

Sejumlah peserta berusaha menangkap layang-layang tradisional Bali yang diturunkan saat mengikuti perlombaan pada Festival Layangan Piala Gubernur Bali 2024 di Pantai Padanggalak, Denpasar, Bali, Minggu (21/7/2024). Kegiatan yang diselenggarakan oleh Komunitas Seni Layanan Bali bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Bali tersebut diikuti 1.340 peserta  untuk pelestarian permainan tradisional Bali. ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo/wpa.Sejumlah peserta berusaha menangkap layang-layang janggan di Pantai Padanggalak, Denpasar, Bali, Minggu (21/7/2024). (Foto: ANTARA FOTO/NYOMAN HENDRA WIBOWO)

Jenis layangan tradisional Bali berikutnya adalah layangan janggan dengan ekornya yang panjang menjuntai. Secara visual, layangan janggan dari kepala sampai leher berbentuk tiga dimensi. Sedangkan badan dan ekornya berbentuk dua dimensi.

Badan layangan janggan hampir mirip dengan layangan bebean, tetapi memiliki ekor yang panjang seperti ekor ular/naga. Bagi beberapa kelompok, layangan janggan disakralkan karena dipercaya sebagai manifestasi Naga Basuki.

Naga Basuki menurut Hindu di Bali merupakan seekor naga yang berperan menjaga kestabilan dunia. Menurut cerita mitologi, bumi ditopang oleh seekor kura-kura raksasa bernama Bedawang Nala. Sementara itu bumi dikelilingi/diikat oleh tubuh seekor naga bernama Naga Basuki. Naga tersebutlah yang diabadikan menjadi layangan janggan.

3. Layangan Pecukan

People fly their kites during the Kite Festival at Mertasari beach in Sanur on the Indonesian resort island of Bali on July 31, 2022. (Photo by SONNY TUMBELAKA / AFP) (Photo by SONNY TUMBELAKA/AFP via Getty Images)Layangan pecukan di langit Pantai Mertasari, Sanur, Denpasar, Bali (Foto: AFP via Getty Images/SONNY TUMBELAKA)

Layangan pecukan paling sulit dikerjakan walaupun memiliki bentuk yang paling sederhana dari layangan lainnya. 'Pecukan' berasal dari Bahasa Bali 'Pecuk' yang artinya ditekan dalam artian bentuk yang sudah utuh sedikit ditekan sehingga bentuknya bervolume.

Layangan pecukan hanya memiliki dua sudut kanan kiri atau atas bawah dengan bentuknya yang melengkung. Tidak sembarang orang bisa membuat layangan pecukan dan diperlukan suatu keahlian khusus untuk membuat layangan ini karena proses pembuatannya tergolong susah, terutama untuk mencari keseimbangan terbang.

Apabila tidak seimbang layangan pecukan ini akan berputar (ngunting) dan jatuh menukik ke bawah. Bentuk layangan pecukan berujung runcing dua arah dengan bentuk yang cembung setengah lingkaran.




(iws/iws)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads