Rahajeng rahina Pagerwesi! Hari Raya Pagerwesi merupakan salah satu hari suci bagi umat Hindu yang dirayakan setiap 210 hari sekali atau pada Budha (Rabu) Kliwon Shinta. Lantas, apakah Pagerwesi memiliki keterkaitan dengan Hari Raya Saraswati yang dirayakan empat hari sebelumnya?
Untuk diketahui, Pagerwesi berasal dari dua suku kata yakni pager/pagar yang berarti kokoh dan wesi/besi yang berarti kuat. Berdasarkan pengertian ini, Pagerwesi dimaknai sebagai hari untuk memagari diri yang dalam bahasa Bali disebut 'magehang awak'.
Secara filosofis, Pagerwesi menggambarkan keteguhan iman umat Hindu dalam memagari diri dengan ilmu pengetahuan untuk menghindari kegelapan atau awidya. Dengan istilah lain, Pagerwesi menjadi hari untuk peneguhan lahir batin.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lontar Sundarigama menyebutkan; "Budha Kliwon Shinta Ngaran Pagerwesi payogan Sang Hyang Pramesti Guru kairing ring watek Dewata Nawa Sanga ngawerdhiaken sarwa tumitah sarwatumuwuh ring bhuana kabeh."
Artinya:
"Rabu Kliwon Shinta disebut Pagerwesi sebagai pemujaan Sang Hyang Pramesti Guru yang diiringi oleh Dewata Nawa Sanga (sembilan dewa) untuk mengembangkan segala yang lahir dan segala yang tumbuh di seluruh dunia."
Rangkaian Upacara Saat Pagerwesi
Masing-masing daerah di Bali memiliki tradisi untuk merayakan Pagerwesi. Secara umum, umat Hindu melakukan persembahyangan di sanggah atau merajan maupun di sejumlah pura besar.
Bagi umat Hindu di Singaraja, Buleleng, Pagerwesi kerap dirayakan dengan semarak seperti Hari Raya Galungan. Mereka biasanya melakukan ibadah di pura-pura serta menyantap sesajen khas seperti nasi kuning dengan aneka lauk.
Umat Hindu di Buleleng juga memiliki tradisi munjung atau ziarah ke makam sanak keluarga dengan membawa sesajen sebagai bentuk penghormatan. Pada malam sebelum Pagerwesi, umat dianjurkan untuk melakukan meditasi atau yoga sebagai bentuk persiapan spiritual.
Sebagai informasi, ada dua banten utama yang dipersembahkan saat Pagerwesi. Yakni: Sesayut Panca Lingga untuk upacara para pendeta dan Sesayut Pageh Urip untuk masyarakat umum.
Sesayut Panca Lingga dan Sesayut Pageh Urip
Sesayut Panca Lingga digunakan oleh para pendeta (sulinggih atau purohita) saat Hari Raya Pagerwesi. Secara harfiah, Panca Lingga berarti lima pilar batin. Sesayut ini berfungsi sebagai sarana untuk memohon benteng kekuatan dalam menghadapi hidup, melalui lima manifestasi Siwa.
Dengan Sesayut Panca Lingga, para pendeta meneguhkan diri sebagai "poros/pilar semesta". Upacara ini melibatkan ritual "memutar aksara Brahma" Panca Brahma dan Panca Aksara atau ngarga dan mapasang lingga (penubuhan aksara suci dan pemantapan jiwa sebagai lingga suci).
Lontar Sundarigama menjelaskan Pagerwesi sebagai hari pemujaan kepada Dewa Siwa atau Sang Hyang Batara Guru, guru dari alam semesta. Pemujaan ini menjadi penting dengan menempatkan guru sebagai penuntun hidup.
Jika Sesayut Panca Lingga digunakan oleh pendeta, maka Sesayut Pageh Urip menjadi sarana bagi umat Hindu non-pendeta. Keduanya dinilai sebagai pilar kebatinan yang penting. Pageh Urip berarti hidup yang teguh atau terlindungi dan sesayut berarti selamat atau sejahtera.
Hubungan Pagerwesi dengan Saraswati
Hari Raya Pagerwesi dirayakan setiap empat hari setelah Hari Suci Saraswati yang jatuh setiap pada Saniscara Umanis Watugunung. Kedua hari suci itu memiliki hubungan erat karena sama-sama merayakan ilmu pengetahuan.
Hari Saraswati menandai turunnya ilmu pengetahuan dari Tuhan kepada manusia. Sedangkan, Pagerwesi menekankan pentingnya memagari diri dengan ilmu tersebut agar tidak terjerumus ke dalam kegelapan.
Pagerwesi menjadi momoen untuk memperkuat iman dan menuntut ilmu pengetahuan. Melalui berbagai tradisi dan upacara yang dilakukan, perayaan ini mengajak setiap individu untuk merenungkan nilai-nilai kehidupan dan menjaga diri dari sifat-sifat buruk.
(iws/iws)