Umat Hindu di Bali kembali merayakan Hari Raya Pagerwesi pada Rabu, 20 Desember 2023. Hari raya yang dilaksanakan setiap 210 hari sekali ini merupakan rerahinan gumi karena dilaksanakan oleh semua umat Hindu. Meski begitu, perayaannya tergantung desa (tempat), kala (waktu), dan patra (keadaan).
Simak makna, waktu pelaksanaan, hingga rangkaian dari Hari Raya Pagerwesi seperti dirangkum detikBali berikut ini.
Makna Hari Raya Pagerwesi
Terdapat banyak tafsiran mengenai Pagerwesi. Ada yang mengatakan bahwa Pagerwesi berasal dari dua kata yakni "pager/pagar" yang berarti kokoh dan "wesi/besi" yang berarti kuat. Berdasarkan pengertian ini, Pagerwesi dimaknai sebagai hari untuk memagari diri yang dalam bahasa Bali disebut 'magehang awak'.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan Lontar Sundarigama, Pagerwesi disebut sebagai hari pemujaan terhadap Dewa Siwa dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Pramesti Guru. Pada hari ini, umat Hindu memohon kekuatan yoga dari Hyang Pramesti Guru. Kekuatan itulah yang kemudian dikaitkan dengan pengetahuan sejati yang akan digunakan untuk memagari diri.
Biasanya, perayaan Pagerwesi dilakukan dengan cara menghaturkan persembahan hingga melakukan yoga semadi, menyucikan diri, dan memohon anugerah terhadap-Nya. Hal tersebut dilakukan untuk memohon perlindungan melalui kesucian ilmu pengetahuan yang merupakan perlindungan (pagar) yang sejati dan utama.
Waktu Pelaksanaan Hari Raya Pagerwesi
Hari Raya Pagerwesi dilaksanakan pada Budha (Rabu) Kliwon Wuku Shinta yang jatuh setiap 210 hari sekali. Berdasarkan kalender Bali, perayaan Pagerwesi dan Saraswati berdekatan. Saraswati jatuh pada wuku paling akhir, yakni Watugunung. Sedangkan, Pagerwesi jatuh pada wuku paling pertama, yakni Shinta.
Jarak perayaan Pagerwesi dengan Saraswati adalah empat hari. Sehingga, kedua hari raya ini saling berkaitan, yakni mengenai ilmu pengetahuan.
Rangkaian Hari Raya Saraswati hingga Pagerwesi
Setelah Hari Raya Saraswati, keesokan harinya akan dilaksanakan Banyu Pinaruh. Saat Banyu Pinaruh, umat Hindu di Bali biasanya melakukan penyucian diri dengan mandi di laut atau sumber mata air. Mereka memohon agar ilmu yang sudah dianugerahkan dapat digunakan untuk tujuan mulia.
Sehari setelah Banyu Pinaruh disebut sebagai hari Somaribek. Rahina Somaribek dimaknai sebagai hari dimana Ida Sang Hyang Widhi Wasa melimpahkan anugerah berupa kesuburan tanah atau hasil panen untuk menunjang kehidupan manusia.
Keesokan harinya atau pada hari Selasa disebut dengan Sabuh Mas. Rahina Sabuh Mas dimaknai sebagai hari ketika manusia menerima pahala dan rezeki berupa pemenuhan kebutuhan hidup berkat ilmu pengetahuan dan teknologi di jalan dharma.
Setelah Sabuh Mas, Hari Raya Pagerwesi dirayakan pada keesokan harinya. Pagerwesi dimaknai sebagai suatu pegangan hidup yang kuat seperti pagar dari besi yang menjaga agar ilmu pengetahuan dan teknologi dimiliki dapat berguna untuk kebaikan.
Pelaksanaan Hari Raya Pagerwesi di Bali
Umat Hindu akan memulai Hari Raya Pagerwesi ini dengan menghaturkan persembahan dan persembahyangan di sanggah, lalu ke pura di area desa, dan ke pura-pura yang menjadi pura keluarga. Beberapa desa di Bali melakukan perayaan Pagerwesi dengan cara mereka sendiri.
Di daerah Buleleng, misalnya, perayaan Pagerwesi dilakukan meriah seperti Hari Raya Galungan. Selain bersembahyang di pura, mereka juga melakukan tradisi Munjung atau ziarah ke makam sanak keluarga di setra (kuburan). Saat mujung, mereka membawa sesajen atau banten punjung (sesajen nasi kuning, aneka lauk pauk dan buah).
Adapun banten yang dihaturkan saat Hari Raya Pagerwesi adalah Sesayut Panca Lingga yang perlengkapannya terdiri dari Daksina, Suci Praspenyeneng dan Banten Penek. Ada dua banten pokok, yaitu Sesayut Panca Lingga untuk upacara para pendeta dan Sesayut Pageh Urip untuk umat lainnya. Banten inti dari Hari Raya Pagerwesi adalah natab Sesayut Pagehurip, Prayascita, Dapetan yang dilengkapi dengan daksina, canang, dan sodaan.
Artikel ini ditulis oleh Ni Made Maheswari Anindya Putri peserta Program Magang Kampus Merdeka di detikcom.
(iws/iws)