Banyak musibah terjadi di Bali akibat cuaca ekstrem berupa hujan dan angin kencang. Salah satunya adalah tragedi maut di arena tajen (sabung ayam) di Desa Bungaya, Kecamatan Bebandem, Karangasem, Minggu (9/2/2025). Sebatang pohon aren berukuran besar tiba-tiba tumbang dan mengakibatkan tiga orang tewas dan enam luka-luka.
"Ada tiga orang meninggal dunia dan enam luka-luka akibat tertimpa pohon tumbang tersebut," kata Perbekel (Kepala Desa) Bungaya, I Made Dangin, saat dikonfirmasi detikBali, Minggu (9/2/2025).
Bagi detikers yang masih awam pasti bingung, apa itu kegiatan metajen? Apakah merupakan sebuah tradisi di Bali? Berikut informasi lebih lanjutnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apa Itu Metajen?
Tajen atau sabung ayam adalah tradisi yang telah lama menjadi bagian dari budaya Bali. Metajen lebih dari sekadar adu ketangkasan ayam jantan (jago), tetapi memiliki sejarah yang kaya dan terikat erat dengan ritual keagamaan Hindu Bali. Meskipun sering dikaitkan dengan perjudian, penting untuk memahami berbagai aspek yang melingkupi tradisi dari aktivitas metajen.
Sejarah dan Makna Budaya
Tajen memiliki sejarah panjang dan terkait erat dengan ritual keagamaan Hindu Bali. Sejarahnya dapat ditelusuri kembali ke masa lampau ketika sabung ayam dilakukan sebagai bagian ritual pengorbanan dalam upacara agama untuk mengusir roh jahat atau sebagai persembahan kepada dewa-dewa. Tradisi ini telah berlangsung sejak zaman Majapahit.
Dalam konteks tradisional, tajen bukan sekadar kegiatan hiburan atau perjudian, tetapi merupakan bagian dari ritual keagamaan yang disebut tabuh rah yang berarti "darah yang diteteskan". Upacara tabuh rah adalah ritual untuk menyucikan tempat suci atau pura dan menjaga keseimbangan antara dunia manusia dan dunia roh.
Pertumpahan darah ayam dianggap sebagai bentuk persembahan untuk roh-roh atau energi negatif yang hadir di sekitar lokasi ritual. Tujuannya untuk menenangkan atau mengusir roh-roh tersebut. Ayam yang digunakan dalam tajen biasanya dipilih dengan sangat hati-hati dan dipersiapkan khusus untuk upacara ini.
Dalam budaya Bali, ayam jantan (jago) yang bertarung dianggap sebagai simbol keberanian dan kekuatan. Pertarungan ini melambangkan perjuangan manusia melawan kekuatan jahat atau negatif. Pertumpahan darah ayam dalam tajen dianggap sebagai simbol pengorbanan yang diperlukan untuk menjaga keseimbangan kosmik antara kebaikan dan kejahatan, antara dunia manusia dan dunia roh. Pulau Bali yang bentuknya menyerupai ayam jago seolah memperkuat simbolisme tajen sebagai bagian dari kehidupan masyarakat.
Jenis-jenis Tajen
Dalam budaya Bali, tajen dapat digolongkan menjadi tiga jenis.
Tabuh Rah: Sabung ayam yang dilakukan untuk upacara agama Hindu di Bali, yaitu Bhuta Yadnya. Sabung ayam ini digunakan sebagai sarana untuk mengeluarkan darah ayam. Darah tersebut kemudian diberikan kepada Bhuta Kala dalam bentuk sesajen agar mereka tidak mengganggu manusia lagi. Tidak ada unsur perjudian dalam tradisi Tabuh Rah karena merupakan upacara keagamaan. Ayam yang digunakan untuk tajen hanya sebanyak tiga ekor saja. Seluruh elemen masyarakat beragama Hindu di Bali terlibat dalam Tabuh Rah.
Tajen Terang: Sabung ayam yang dilakukan untuk kepentingan mencari dana dan pembangunan desa di Bali. Berbeda dari Tabuh Rah yang termasuk dalam ritual keagamaan, Tajen Terang sudah terdapat unsur perjudian di dalamnya. Sabung ayam ini juga sudah mendapatkan izin dari pihak berwenang dan perangkat desa sehingga tidak dianggap ilegal.
Tajen Branangan: Sabung ayam yang dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi dan lokasinya sengaja dibuat jauh dari desa sehingga tidak dapat diawasi oleh aparat berwenang. Tajen Branangan terdapat unsur perjudian yang kental dan tidak mendapatkan izin dari perangkat desa serta pihak berwenang.
Antara Metajen dan Perjudian
Meskipun memiliki akar budaya dan spiritual yang kuat, metajen sering kali dikaitkan dengan perjudian. Banyak orang yang memasang taruhan pada ayam yang mereka jagokan. Bahkan, dalam Tajen Branangan, nilai taruhannya bisa mencapai jutaan bahkan ratusan juta rupiah.
Selama masa kolonial Belanda, tajen dilarang karena dianggap sebagai bentuk perjudian yang berbahaya. Namun, setelah kemerdekaan Indonesia, praktik ini kembali dihidupkan, meskipun sering kali hanya terbatas pada konteks ritual dan upacara adat.
Praktik tajen dalam konteks non-ritual telah menjadi isu kontroversial dengan banyak kelompok advokasi hak-hak hewan yang menentang kegiatan ini karena alasan kekerasan terhadap hewan. Tajen sering kali menjadi acara sosial untuk komunitas berkumpul dan berinteraksi, berfungsi sebagai sarana untuk memperkuat hubungan sosial di antara anggota masyarakat.
Meskipun ada aspek perjudian, tajen juga dianggap sebagai acara untuk merayakan dan memperkuat identitas budaya serta solidaritas sosial. Tajen di Bali yang dilakukan sebagai bagian dari ritual keagamaan tetap diperbolehkan. Namun, pemerintah dan otoritas setempat sering kali mengatur ketat kegiatan tajen untuk mencegah praktik perjudian yang berlebihan dan kekerasan terhadap hewan.
Salah satu pengamat sosial melihat nilai-nilai tradisi, adat, dan budaya tajen saat ini mengalami kelunturan. Kegiatan yang dahulu sangat sakral bagi masyarakat Bali kini kerap dimanfaatkan sejumlah pihak sebagai ladang mencari uang.
Penting untuk bisa menyikapi tradisi metajen. Upaya pelestarian dapat dilakukan dengan tetap menjaga nilai-nilai budaya dan spiritual yang terkandung di dalamnya serta meminimalkan potensi dampak negatif dari perjudian. Hal ini dapat dilakukan dengan mengatur pelaksanaan metajen secara ketat, membatasi taruhan, dan mengedukasi masyarakat mengenai dampak positif dan negatif dari tradisi tajen.
(hsa/gsp)