Kema Uma Gua: Tradisi Adat Menjaga Siklus Tanam di Nagekeo

Kema Uma Gua: Tradisi Adat Menjaga Siklus Tanam di Nagekeo

Vincencia Januaria Molo - detikBali
Sabtu, 04 Jan 2025 23:30 WIB
Ana deo, simbolis rumah nenek moyang terdahulu yang di dalamnya terdapat alat berkebun dan bibit untuk uma gua. (Dok. Gabriel Lipu)
Foto: Ana deo, simbolis rumah nenek moyang terdahulu yang di dalamnya terdapat alat berkebun dan bibit untuk uma gua. (Dok. Gabriel Lipu)
Nagekeo -

Tradisi Kema Uma Gua menjadi pedoman hidup masyarakat adat di Kampung Sawu Obo, Kecamatan Mauponggo, Nagekeo, Nusa Tenggara Timur. Tradisi ini mengatur pengelolaan kebun adat berdasarkan siklus tanam dan penghormatan terhadap alam.

Mosa Laki Kampung Sawu Obo, Gabriel Lipu (67), mengatakan seluruh kebun masyarakat di sana dianggap sebagai kebun adat. Pola tanamnya ditentukan oleh Ine Tana Ame Watu, pemimpin adat tertinggi, melalui ritual pembukaan dan penutupan musim tanam.

Musim tanam dimulai pada November dengan pembukaan kebun adat oleh Ine Tana Ame Watu. "Pada saat itu, masyarakat mulai melakukan pembibitan dan persiapan menanam padi yang berlangsung hingga akhir April," kata Gabriel saat dihubungi detikbali, Sabtu (23/11/2024).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bibit padi yang digunakan diambil dari Ana Deo, rumah adat simbol nenek moyang. Di dalamnya terdapat cangkul dan alat berkebun lainnya. Kebun adat ini terdiri dari tujuh petak atau bedeng yang memiliki makna simbolis.

"Enam petak pertama melambangkan kebutuhan hidup manusia sehari-hari, sementara petak ketujuh yang disebut Peti Kolo adalah hadiah bagi burung-burung, simbol pemilik alam," jelas Gabriel.

ADVERTISEMENT

Simbol ini selaras dengan ajaran agama Katolik. Enam petak mencerminkan enam hari kerja dan petak ketujuh mewakili hari untuk Tuhan. Setelah periode tanam berakhir, masyarakat tidak lagi diizinkan menanam padi dan harus beralih ke tanaman palawija seperti jagung.

Masyarakat yang melanggar aturan adat dikenakan sanksi berupa denda. Barang-barang yang harus diserahkan meliputi babi jantan sepanjang 60 cm (seharga Rp10 juta), moke sebanyak 5 liter, beras 15 kilogram (kg), rokok 1 pak, kopi 2 kg, dan gula 3 kg.

Barang-barang ini diserahkan ke kampung adat melalui prosesi pengakuan pelanggaran. Ritual dimulai dengan pemukulan gong gendang untuk mengumpulkan masyarakat, diikuti dengan prosesi adat lainnya.

Gabriel menegaskan tradisi ini tidak hanya menciptakan keteraturan dalam hidup bermasyarakat, tetapi juga menjaga harmoni dengan alam. "Melalui Kema Uma Gua, masyarakat diingatkan untuk hidup teratur sesuai norma adat sehingga kehidupan mereka menjadi lebih tertib dan bermakna," ungkap Gabriel.

Artikel ini ditulis oleh Vincencia Januaria Molo, peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.




(iws/iws)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads