Sistem Pernikahan Adat Bali: Ngerorod hingga Nyentana Serta Cara Pelaksanaannya

Sistem Pernikahan Adat Bali: Ngerorod hingga Nyentana Serta Cara Pelaksanaannya

Ni Wayan Santi Ariani - detikBali
Kamis, 05 Sep 2024 22:30 WIB
Bali, Indonesia - February 11. Woman enacting wedding scene in preparation for religious ceremony on February 11, 2012 in Bali, Indonesia. Most Balinese get married in their early 20s.
Foto: Pernikahan adat Bali. (Getty Images/iStockphoto)
Bali -

Pernikahan dalam masyarakat Hindu Bali dikenal dengan sebutan wiwaha atau pawiwahan. Pawiwahan bermakna bukan hanya penyatuan dua insan secara duniawi, tetapi juga secara non-duniawi yang biasa disebut sekala-niskala.

Pawiwahan atau pernikahan dalam masyarakat Hindu Bali merupakan sesuatu yang sakral sebagai penanda hubungan manusia dengan penciptanya, hubungan manusia dengan keluarga, hubungan manusia dengan para leluhur, dan hubungan manusia dengan masyarakat. Berdasarkan pemahaman itu, pawiwahan juga berkaitan dengan sistem-sistem sosial yang berkembang di masyarakat Bali dengan balutan adat, budaya, dan penyesuaian ritual pelaksanaannya.

Terdapat empat sistem pernikahan yang biasanya dilakukan karena didasari latar belakang permasalahan tertentu seputar adat. Sebagaimana pendapat Ter Haar, bahwasanya pernikahan merupakan urusan kerabat, urusan masyarakat, urusan derajat, dan urusan pribadi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lantas apa saja sistem pernikahan dalam adat Bali? Simak informasinya beserta tata cara pelaksanaan pernikahan di bawah ini.

Dikutip dari artikel jurnal Eksistensi Perkawinan Adat Ngerorod di Bali dalam Hal Tidak Terpenuhinya Syarat Tertentu Menurut Hukum Perkawinan Nasional di Indonesia karya Iga Sri W Gangga DWS dan sumber lainnya, berikut penjelasan mengenai sistem pernikahan adat Bali beserta tata cara pelaksanaannya.

ADVERTISEMENT
  • Sistem Memandik

Sistem pernikahan ini biasanya dipandang sebagai sistem pernikahan paling terhormat. Calon pengantin pria maupun wanita sudah memiliki hubungan yang diketahui dan disepakati oleh pihak orang tua dan kerabat. Selain atas dasar kehendak pribadi, biasanya sistem pernikahan ini dilakukan dalam kondisi dijodohkan orang tua atau pihak wanita langsung dipinang oleh pria yang menyukainya, tetapi belum ada hubungan apapun sebelumnya.

  • Sistem Ngerorod/Ngerangkat

Sistem ini kerap disebut dengan istilah kawin lari. Pernikahan ini tidak didasari oleh lamaran orang tua, melainkan atas dasar kehendak pribadi kedua calon pengantin. Pernikahan ini biasanya terjadi dalam kondisi kedua calon mempelai saling mencintai dan sepakat membangun rumah tangga, tetapi hubungan mereka mendapat halangan baik dari orang tua, keluarga, atau masyarakat.

Adapun dalam pelaksanaannya, terdapat beberapa tahapan dalam pernikahan sistem ini, sebagai berikut.

  • Kedua calon mempelai telah sepakat untuk melakukan pengerorodan. Dahulu biasanya pelarian dilakukan pada malam hari.
  • Pelarian harus dilakukan pada suatu tempat yang tidak diketahui oleh kedua belah keluarga pihak calon pengantin. Biasanya dilakukan di rumah kerabat jauh atau pihak ketiga yang dikenal dengan istilah pengkeban.
  • Pihak yang menjadi pengkeban akan melapor pada kelian adat/bendesa/perbekel di tempat itu terkait kedatangan calon pengantin.
  • Pihak keluarga calon pengantin pria dalam kurun waktu 1x24 jam harus mengirim utusan kepada pihak keluarga wanita untuk memberitahukan anak gadis mereka telah melakukan pelarian dengan pria yang ingin menikahinya.
  • Setelah tiga hari, biasanya pihak keluarga pria akan menjemput kedua calon pengantin untuk dibawa ke kediaman pihak pria.
  • Kemudian, pihak keluarga pria akan memberitahukan mengenai upacara pernikahan yang akan berlangsung kepada pihak calon pengantin wanita. Hal ini disebut dengan istilah masuwake.
  • Apabila pihak keluarga calon pengantin wanita tidak keberatan, maka mereka akan datang ke kediaman keluarga pria dan menyatakan persetujuan.
  • Setelah mendapatkan persetujuan itu, banjar di kediaman pihak pria akan langsung mengumumkan perihal rencana pernikahan tersebut.
  • Terakhir akan dilakukan upacara mejauman, yakni upacara pernikahan hingga kedua calon pengantin sah menjadi suami istri.
  • Sistem Pada Gelahang

Secara harfiah, kata pada gelahang berarti 'miliki bersama' yang kerap juga disebut dengan istilah perkawinan negen dua, mapanak bareng, negen dadua mapanak bareng nadua umah, makaro lemah, magelar warang hingga perkawinan parental. Suami dan istri dalam perkawinan pada gelahang berstatus kapurusa di rumahnya masing-masing dengan segala kewajiban (swadharma) dan hak (swadikara) yang menyertainya sesuai kesepakatan (pasobayan).

Menurut artikel jurnal Pernikahan Pada Gelahang karya Wayan P Windia, terdapat tiga asas yang wajib ditaati oleh pasangan pernikahan pada gelahang yakni paksa, lasia, dan satya.

  • Paksa berarti terpaksa, pernikahan dengan sistem ini dilakukan hanya dalam keadaan tertentu yang merujuk pada jalan yang buntu.
  • Lasia artinya tulus ikhlas, setelah memutuskan untuk menggunakan sistem pada gelahang dalam pernikahan, pasangan pengantin harus siap dengan segala konsekuensi yang menyertainya dan paling utama tulus ikhlas dalam melaksanakan kesepakatan (pasobaya mewarang) bersama.
  • Satya artinya setia, menghormati dan melaksanakan kesepakatan yang telah dibuat dengan konsisten untuk selamanya.
  • Sistem Nyentana

Penjelasan mengenai sistem ini terdapat dalam Sloka Manawa Dharmasastra 127 kitab menyebutkan.

Ia yang tidak mempunyai anak laki-laki dapat menjadikan anaknya perempuan menjadi demikian (status lelaki) menurut acara penunjukan anak wanita dengan mengatakan kepada suaminya anak laki-laki yang lahir daripadanya akan melakukan upacara penguburan

Dengan demikian, sistem pernikahan nyentana, posisi pria dan wanita akan bertukar. Pengantin pria yang akan masuk ke dalam keluarga pengantin wanita. Adapun pria yang mau nyentana disebut dengan sentana.

Dikutip dari artikel jurnal Status Laki-Laki Pewaris dalam Perkawinan Nyentana karya I Wayan Wahyu Wira Udytama, dalam pelaksanaan sistem nyentana, calon pengantin pria akan dilamar oleh keluarga perempuan. Hal tersebut yang menjadi ciri khas perkawinan nyentana yang dilaksanakan oleh masyarakat adat Bali, tetapi posisi laki-laki tetap sebagai purusa atau penerus keturunan pada keluarga istri sekaligus sebagai kepala rumah tangga.

Demikianlah informasi mengenai sistem pernikahan adat Bali beserta cara pelaksanaannya. Semoga informasi ini dapat berguna bagi pengetahuan dan wawasan Anda terkait tradisi dan kebudayaan Bali.




(hsa/hsa)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads