Pemerintah Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), kembali menggelar Festival Begawe Jelo Nyesek di Desa Sukarara, Kecamatan Jonggat, Sabtu (27/7/2024). Kegiatan tersebut diikuti oleh 500 penenun dari desa setempat.
Wakil Bupati Lombok Tengah Nursiah mengatakan Festival Begawe Jelo Nyesek ini merupakan festival keenam kalinya. Event ini adalah acara tahunan yang rutin dilakukan untuk menunjukkan tradisi yang ada di desa tersebut.
"Festival ini langsung menjadi pertunjukan seni budaya, pertunjukan juga pada penenun, dan hasilnya tadi itu. Tahun keenam ini menjadi perencanaan tahun depan, untuk lebih kami tingkatkan Festival Sukerara Begawe Jelo Nyesek," kata Nursiah, Sabtu (27/7/2024) di Sukarara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nursiah mengatakan tradisi ini harus terus diwariskan kepada generasi seterusnya. Di sisi lain, ia melihat kegiatan ini akan membawa dampak positif bagi masyarakat setempat. Menurutnya event ini harus banyak dipromosikan sebagai daya tarik kepada wisatawan.
"Ini perlu dipromosikan lebih intens, karena Sukerara adalah desa wisata yang terkenal di tingkat nasional," imbuhnya.
Di tempat yang sama, Kepala Desa Sukarara Samanhudi mengatakan jumlah peserta tahun ini memang sedikit mengalami penurunan. Pada tahun sebelumnya ada 2023 penenun sehingga berhasil mendapatkan rekor Muri.
"Alhamdulillah penenun yang bisa kami ikutkan itu sebanyak 500 orang. Kalau di tahun sebelumnya itu yang memecahkan rekor Muri itu 2023 orang," katanya.
Ia mengatakan pada tahun depan pihaknya akan mengusahakan akan terlaksana lebih baik lagi. Hal ini tentu sangat membutuhkan ikut serta dari pemerintah daerah agar lebih bagus dari tahun ini.
"Mungkin karena keterbatasan kemampuan kami hanya seperti itu, tapi mudah-mudahan itu bisa lebih banyak lagi," tegasnya.
Seluruh peserta yang hadir saat itu merupakan masyarakat setempat. Ia menyebut hampir seluruh masyarakat Desa Sukarara memiliki bakat menenun. Hal itu karena tradisi ini menjadi warisan nenek moyangnya.
"Dari 3.500 kepala keluarga (KK) itu sebanyak 3.300 KK itu penenun. Mereka itu ada yang jadi pekerja, penguasa, dan sebagainya. Hampir semua masyarakat kami itu bisa menenun," bebernya.
Ia menjelaskan adanya tradisi menenun ini sangat berdampak pada perekonomian masyarakat setempat. Di sisi lain, khusus warga Desa Sukarara menenun merupakan hal yang paling sakral untuk ditelurkan kepada generasinya.
"Ini memang suatu warisan dari orang tua kami bahwa perempuan di sini itu tidak diperbolehkan untuk kawin sebelum bisa menenun," katanya.
Menurut Samanhudi, nyesek ini memiliki filosofi tersendiri bagi masyarakat setempat. Terutama bagi para gadis desa. Mereka tidak diperbolehkan untuk menikah sebelum bisa menenun. Hal itu pun sampai saat ini masih menjadi tradisi bagi mereka.
"Tentunya ada filosofi di balik itu semua. Jangan sampai mereka hanya menunggu pendapatan suaminya saja. Sebelum mendapat penghasilan mereka sudah bisa mencari sesuatu untuk keluarganya," terangnya.
Bukan hanya itu, para tetua di Sukarara juga membuat aturan sendiri untuk mewajibkan gadisnya bisa menenun. Barang siapa yang tidak bisa Nyesek, mereka akan menjadi bahan omongan tetangga.
"Dulu ada sanksi, kalau ada meninggalkan alat tenunnya kawin itu ada sanksi adat. Harus jadi dulu, sebelum menikah. Dan itu pasti dibicarakan oleh masyarakat," pungkasnya.
(hsa/gsp)