Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki beragam rumah adat dari beberapa suku. Setiap rumah adat di NTT mencerminkan warisan budaya dan tradisi masyarakat setempat.
Masing-masing rumah adat ini memiliki ciri khas dan keunikan tersendiri, mencerminkan keragaman etnis, dan budaya yang ada di wilayah ini. Untuk mengetahui lebih lanjut, simak penjelasan tentang 5 rumah adat NTT yang dilansir dari berbagai sumber.
1. Rumah Adat Musalaki
![]() |
Rumah adat Musalaki merupakan rumah adat yang paling sering dijumpai saat berkunjung ke NTT. Nama rumah adat ini merupakan penggabungan dari dua kata yaitu 'mosa' dan 'laki', yang artinya 'ketua' dan 'laki'.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apabila digabungkan, kedua kata tersebut menjadi 'ketua adat'. Oleh karena itu, rumah Musalaki adalah rumah yang menjadi tempat tinggal bagi tetua atau kepala suku dalam masyarakat suku Ende Lio.
Rumah adat Musalaki berbentuk persegi empat dengan atap menjulang tinggi, melambangkan kesatuan dengan sang pencipta. Atapnya diyakini menyerupai layar perahu, sesuai dengan cerita masyarakat setempat tentang nenek moyang Suku Ende Lio yang biasa menggunakan perahu.
Di bagian atas atap terdapat dua ornamen simbolis. Yaitu kolo Musalaki (kepala rumah keda) dan kolo ria (kepala rumah besar) yang diyakini memiliki hubungan spiritual.
Selain menjadi rumah adat, rumah ini juga difungsikan sebagai tempat dilakukannya upacara adat, musyawarah adat, ritual tertentu, dan acara adat lainnya.
2. Rumah Adat Mbaru Niang
![]() |
Mbaru Niang adalah rumah adat yang terdapat di Kampung Wae Rebo, sebuah kampung adat di Pulau Flores, NTT. Terletak di pegunungan pada ketinggian 1.117 meter di atas permukaan laut, kampung ini dikelilingi oleh pegunungan dan hutan hujan tropis di Kabupaten Manggarai Barat. Tinggi rumah ini mencapai 15 meter.
Nama Mbaru Niang terdiri dari dua kata, 'Mbaru' yang berarti rumah dan 'Niang' yang berarti tinggi dan bulat. Penamaan ini mencerminkan bentuk Mbaru Niang yang kerucut dan meruncing ke atas.
Bentuk ini melambangkan falsafah kehidupan suku Manggarai di Kampung Wae Rebo, di mana keseimbangan terwakili dalam bentuk lingkaran. Selain itu, bentuk kerucut atapnya merupakan simbol perlindungan dan persatuan antar rakyat Wae Rebo.
Mbaru Niang dibangun dalam jumlah tujuh rumah yang disusun melingkar di atas tanah datar. Di tengah lingkaran tersebut terdapat sebuah altar bernama Compang, yang menjadi titik pusat dari ketujuh Mbaru Niang dan merupakan lokasi paling sakral bagi suku Manggarai di Wae Rebo. Altar Compang digunakan untuk menyembah Tuhan dan roh-roh leluhur.
3. Rumah Adat Ume Kbubu
![]() |
Rumah ini melambangkan kaum perempuan dan berfungsi sebagai simbol seorang Mama atau betina (Mater). Rumah Ume Kbubu juga disebut 'Rumah Bulat' karena bentuknya yang bulat.
Dalam filosofi orang Timor, rumah adat Ume Kbubu melambangkan perempuan Timor yang santun, bersahaja, dan tertutup. Struktur Ume Kbubu memiliki atap yang menjulur dari bubungan hingga ke tanah dan hanya memiliki satu pintu. Setiap orang yang masuk atau keluar harus menunduk, menggambarkan rasa hormat dan kesopanan.
Rumah berbentuk kerucut dan beratap bulat ini berfungsi sebagai tempat dilaksanakannya upacara adat, musyawarah, kegiatan sosial, dan kegiatan tradisional lainnya. Oleh karena itu, rumah Ume Kbubu memiliki peran vital sebagai tempat berkegiatan warga di sana.
4. Rumah Adat Lopo
![]() |
Salah satu rumah adat ini merupakan rumah adat bagi masyarakat Suku Abui, di Kabupaten Alor. Rumah tanpa dinding ini dianggap menjadi rumah serbaguna, karena rumah ini memiliki segudang kegunaan. Rumah Lopo memiliki tiga tingkat yang memiliki fungsinya masing-masing.
Rumah berbahan bambu dan alang-alang ini digunakan sebagai tempat untuk menyimpan hasil panen. Rumah Lopo juga dimanfaatkan sebagai tempat menenun bagi para perempuan Timor yang hendak menenun kain tenun ikat. Tak hanya itu, Rumah Lopo kerap menjadi tempat berkumpul bagi warga untuk membahas hal penting.
Rumah serbaguna ini merupakan warisan turun temurun dari moyang masyarakat Suku Abui. Seiring berkembangnya zaman, atap Lopo yang mulanya dibuat dari daun alang-alang kini berubah menjadi seng. Meskipun demikian, fungsi dari Lopo tidak berubah.
5. Rumah Adat Sumba
![]() |
Rumah Adat Sumba mengacu pada rumah adat vernakular dari Suku Sumba di Pulau Sumba, rumah adat Sumba memiliki atap yang tinggi dan memiliki keterkaitan yang erat dengan roh-roh atau marapu.
Rumah adat Sumba juga mencerminkan hubungan yang kuat antara manusia dengan dunia roh atau marapu. Konsep marapu meliputi roh-roh leluhur, tempat-tempat suci, dan artefak yang memiliki nilai sakral.
Desain rumah adat, seperti puncak atap yang tinggi dan struktur dalam rumah, seringkali memiliki makna simbolis yang berkaitan dengan marapu. Misalnya, uma bungguru, rumah utama klan, menjadi tempat penting untuk upacara dan ritual yang berkaitan dengan marapu, seperti pernikahan dan pemakaman.
Rumah adat Sumba umumnya memiliki tata letak berbentuk persegi. Terdapat empat tiang utama yang menjadi penyangga atap puncak rumah, yang memiliki makna mistis.
Satu rumah adat Sumba dapat menampung satu hingga beberapa keluarga. Tanduk kerbau sering digunakan sebagai hiasan dinding untuk mengingatkan akan pengorbanan masa lalu.
Selain sebagai tempat tinggal, rumah adat juga digunakan untuk kegiatan sosial dan ritual, seperti pertemuan keluarga, upacara adat, dan pertemuan masyarakat. Rumah adat juga menjadi simbol kekuatan dan persatuan bagi klan dan komunitas Sumba.
Itulah 5 rumah adat yang ada di NTT. Semoga bermanfaat!
Artikel ini ditulis oleh Zheerlin Larantika Djati Kusuma, peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(nor/nor)