Wimbakara Gender Wayang di Panggung PKB, Seniman Belia Menyala

Wimbakara Gender Wayang di Panggung PKB, Seniman Belia Menyala

I Wayan Widyartha Suryawan - detikBali
Selasa, 18 Jun 2024 22:23 WIB
Penampilan para seniman belia pada wimbakara (lomba) gender wayang anak-anak dalam Pesta Kesenian Bali (PKB) XLVI di Kalangan Angsoka Taman Werdhi Budaya Art Centre, Denpasar, Bali, Selasa (18/6/2024). (Widyartha Suryawan/detikBali)
Penampilan para seniman belia dalam wimbakara (lomba) gender wayang anak-anak Pesta Kesenian Bali (PKB) XLVI di Kalangan Angsoka Taman Werdhi Budaya Art Centre, Denpasar, Bali, Selasa (18/6/2024). (Widyartha Suryawan/detikBali)
Denpasar -

Matahari semakin terik saat ratusan penonton memadati Kalangan Angsoka Taman Werdhi Budaya Art Centre, Denpasar, Selasa (18/6/2024). Warga lokal dan wisatawan mancanegara berbaur menjadi satu. Ada yang duduk lesehan, ada pula yang berdiri panas-panasan demi menyaksikan penampilan para seniman belia yang sedang mengikuti wimbakara (lomba) gender wayang anak-anak Pesta Kesenian Bali (PKB) XLVI.

"Menyala wiiii..." teriak salah satu penonton saat seniman anak-anak itu mulai memainkan gending (lagu) Saketi.

Pande Putu Pandu Pradipta adalah salah satu peserta dalam lomba gender wayang anak-anak tersebut. Bersama tiga teman lainnya, Pande intens berlatih selama tujuh bulan agar tampil maksimal saat berlomba. Walhasil, siswa kelas VIII SMPN 1 Gianyar itu tampil lepas dan rileks saat menabuh gamelan berbilah sepuluh dan berlaras slendro tersebut.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saya belajar memainkan gender wayang sejak usia sembilan tahun dan sudah tiga kali mengikuti lomba," ujar Pande seusai pentas.

Pande senang ketika terpilih menjadi salah satu penabuh gender wayang duta Kabupaten Gianyar di ajang PKB 2024. Selain menghafal tiga gending yang dibawakan, dia juga dituntut untuk lebih ekspresif.

Bak seorang penari, Pande menggerak-gerakkan kepala, menggoyangkan badan, lalu tersenyum menatap ke arah penonton. Hal itu ia lakukan sembari terus memainkan bilah-bilah gender wayang menggunakan dua panggul yang dijepit pada jemari tangannya.

"Saya paling nyaman membawakan gending Pemungkah," imbuh seniman belia asal Peliatan, Ubud, yang kerap ngayah (pentas) megambel di sejumlah pura itu.

Wimbakara gender wayang anak-anak PKB 2024 diikuti enam kelompok, yakni duta Kabupaten Gianyar, Tabanan, Badung, Bangli, Jembrana, dan Kota Denpasar. Masing-masing kelompok terdiri dari empat penabuh berusia 7-15 tahun. Mereka membawakan tiga materi, yaitu gending Saketi, Pemungkah, dan Angkat-angkatan.

Pembina Sanggar Suara Murti, I Ketut Buda Astra, menjelaskan masing-masing gending memiliki ciri khas. Menurutnya, gending Saketi menjadi materi dengan tingkat kerumitan tersendiri. Gending klasik tersebut terdiri dari banyak pola kotekan (pukulan) dan memerlukan teknik permainan khusus.

"Ciri khas gending Saketi dinamis, tegas, dan menghentak," tutur Buda saat mendampingi anak-anak sanggarnya yang menjadi duta Kabupaten Gianyar.

Sarjana karawitan STSI (kini Institut Seni Indonesia atau ISI) Denpasar pada 1995 itu bangga karena anak-anak sanggarnya antusias mempelajari gending-gending klasik tersebut. Sebagai pembina, Buda perlu meluangkan waktu dan tenaga lebih di tengah jadwal latihan yang tidak menentu. Musababnya, anak asuhnya memiliki beragam kegiatan di sekolah masing-masing.

"Perlu pengorbanan, orang tua juga harus siaga mengantarkan anaknya setiap kali latihan," imbuh pengelola sanggar seni di Banjar Babakan, Sukawati, Gianyar, itu.

Menurut Buda, PKB hanya salah satu ajang untuk mengakrabkan anak-anak dengan karawitan Bali. Di luar kegiatan itu, ia juga mengajarkan anak didiknya untuk ngayah megambel saat pujawali di pura-pura.

"Astungkara, anak-anak kami sudah berusaha menampilkan yang terbaik," pungkas Buda.

Gender Wayang dan Martabat Kebudayaan Bali

Salah satu juri, I Gusti Sudarta, menyebut regenerasi penabuh gender wayang di Bali menggembirakan. Menurutnya, anak-anak sangat antusias mempelajari salah satu gamelan tua di Bali itu.

"Saya teringat dengan Era Renaisans (perkembangan seni di Eropa sekitar abad ke-14), mereka bersemangat menggali repertoar atau lagu-lagu klasik," tutur Sudarta.

Sudarta memuji teknik permainan gender para peserta. Menurutnya, mereka juga sukses memberi roh pada setiap gending yang dibawakan. Barungan gender wayang, dia berujar, terdiri dari empat instrumen, yakni sepasang pemade dan sepasang kantilan.

Meski tergolong barungan gamelan kecil, memainkan gender wayang memiliki kerumitan teknik dibandingkan jenis gamelan Bali lainnya. Penabuh gender, dia berujar, dilatih menyeimbangkan kemampuan motorik karena tangan kanan dan kiri memiliki pukulan yang berbeda. Teknik pukulan (gegedig), keutuhan lagu, etika, dan estetika merupakan beberapa poin yang dinilai dewan juri.

"Untuk ukuran penabuh anak-anak, ini luar biasa. Mereka bisa menampilkan teknik yang rumit sekaligus memberi penjiwaan terhadap gending yang dibawakan," imbuhnya.

PKB 2024 mengusung tema Jana Kerthi Paramaguna Wikrama atau harkat martabat manusia unggul. Sudarta menilai kegandrungan anak-anak mempelajari gender wayang sejalan dengan misi untuk membangun martabat kebudayaan Bali. "Musik tradisi di Bali akan tetap hidup, karena di sana ada proses pendidikan," sambungnya.

Juri lainnya, Ni Ketut Suryatini, setali tiga uang. Menurutnya, meski materi yang dibawakan adalah gending-gending klasik, para peserta mampu mengemas repertoar tersebut dengan spirit kekinian.

"PKB menjadi ajang untuk menggali, melestarikan, dan mengembangkan kesenian tradisi," ujar Suryatini.

Suryatini bangga karena penabuh gender wayang tak lagi didominasi oleh laki-laki. Seluruh duta dalam wimbakara itu, dia melanjutkan, juga melibatkan penabuh perempuan belia. "Anak-anak menjadi harapan kami untuk menjaga gender wayang yang dulu dikatakan rumit dan dianggap tenget," pungkas pensiunan dosen ISI Denpasar itu.




(hsa/hsa)

Hide Ads