Tradisi Pasola di Sumba Barat, Sejarah hingga Waktu Pelaksanaan

Tradisi Pasola di Sumba Barat, Sejarah hingga Waktu Pelaksanaan

Husna Putri Maharani - detikBali
Kamis, 09 Mei 2024 10:12 WIB
Tradisi Pasola di Sumba Barat, NTT. (Dok p2k.stekom.ac.id)
Foto: Tradisi Pasola di Sumba Barat, NTT. (Dok p2k.stekom.ac.id)
Sumba Barat -

Salah satu tradisi unik yang berasal dari Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), adalah Pasola. Tradisi ini merupakan sebuah permainan ketangkasan di mana pria Sumba melempar lembing dari atas kuda.

Tradisi ini menarik perhatian banyak wisatawan yang berkunjung ke Sumba Barat karena keunikannya serta pelaksanaannya yang hanya sekali dalam setahun Wisatawan sering datang ke Sumba Barat khusus untuk menyaksikan atraksi ini.

Pasola berasal dari kata soal atau hola yang artinya kayu lembing. Pasola menjadi tradisi perang yang melibatkan dua kelompok penunggang kuda yang saling berhadapan dan kejar-kejaran sambil melempar lembing kayu ke arah lawan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sejarah Pasola

Dilansir dari laman Pemerintah Kabupaten Sumba Barat, sejarah tradisi Pasola ini berakar dari legenda cinta segi tiga yang terjadi di masa lampau. Kisah dimulai dengan tiga bersaudara dari kampung Weiwuang, yaitu Ngongo Tau Matutu, Yagi Waikareri, dan Ubu Dulla, yang memutuskan untuk berlayar ke Negeri Muhu Karera untuk mencari ikan demi istri-istri mereka.

Namun ketiganya tak kunjung kembali setelah beberapa hari, para istri dan warga desa menjadi cemas. Istri Ubu Dulla, Rabu Kabba bahkan sering pergi ke tepi pantai sambil berharap suaminya kembali.

ADVERTISEMENT

Suatu hari, Rabu Kabba menemukan sebuah perahu yang akan bersandar di tepi pantai. Namun sayangnya, perahu tersebut bukanlah milik Ubu Dulla, melainkan milik seorang pemuda dari Kodi yang bernama Teda Gaiparona.
Karena sering bersama, Rabu Kabba dan Teda Gaiparona akhirnya jatuh cinta. Namun, cinta mereka terhalang oleh adat setempat sehingga mereka memutuskan untuk kawin lari.

Tidak lama setelah itu, Ngongo Tau Matutu, Yagi Waikareri, dan Ubu Dulla kembali ke Weiwuang. Ubu Dulla terkejut saat mengetahui bahwa istrinya telah pergi dengan pria lain.

Meski pada awalnya tak terima, namun Ubu Dulla akhirnya merelakan istrinya bersama Teda Gaiparona dengan syarat agar Teda Gaiparona mengganti belis yang diterima dari keluarga Umbu Dulla seperti pada hari pernikahan mereka.

Teda Gaiparona pun menyetujui syarat tersebut. Sebagai simbol kemakmuran, Ubu Dulla diberikan sebungkus cacing nyale untuk dibawa pulang ke Weiwuang. Tidak hanya itu, keduanya juga sepakat untuk menyelenggarakan Pasola sebagai penghormatan atas kebesaran hati Ubu Dulla yang mampu menerima kepergian sang istri.

Dalam legenda ini, Pasola menjadi sebuah tradisi yang dijalankan untuk mengenang dan menghormati kebesaran hati Ubu Dulla yang mampu merelakan istrinya hidup bersama pria lain serta sebagai simbol perdamaian di antara mereka.

Proses Upacara

Tradisi Pasola di Sumba Barat, NTT. (Dok p2k.stekom.ac.id)Tradisi nyale merupakan puncak dari segala kegiatan untuk memulai pasola di Sumba Barat, NTT. (Dok p2k.stekom.ac.id)

Pasola dimulai dengan upacara adat nyale yang merupakan ungkapan syukur atas anugerah musim panen dan kelimpahan cacing laut di tepi pantai saat bulan purnama. Para pemuka suku memprediksi kedatangan cacing laut, dan jika cacing tersebut gemuk dan sehat, dipercayai sebagai pertanda kebaikan dan kesuksesan panen.

Pasola hanya dapat dilaksanakan setelah mendapat cacing nyale tersebut. Permainan ini melibatkan dua kelompok ksatria Sumba bersenjatakan tombak kayu berdiameter 1,5 cm dan terdiri lebih dari 100 pemuda. Meskipun tombak kayu yang digunakan berujung tumpul, permainan ini bisa berakibat fatal hingga dapat memakan korban jiwa.

Dalam pertandingan, mereka menunggang kuda sambil melemparkan tombak ke arah lawan dan menghindari serangan lawan. Suasana dipenuhi dengan derap kuda, teriakan, dan dukungan penonton, serta percikan darah dianggap memiliki makna simbolis untuk kesuburan dan kesuksesan panen. Kematian dalam pasola dianggap sebagai pertanda pelanggaran norma adat yang dilakukan oleh warga pada tempat pelaksanaan pasola.

Waktu Pelaksanaan

Tradisi Pasola dilaksanakan sekali dalam setahun yakni pada awal musim tanam, tepatnya pada Februari di Kecamatan Lamboya dan Maret di Kecamatan Wanokaka dan Laboya Barat/Gaura.

Tanggal pasti dalam pelaksanaan Pasola ditentukan oleh para rato berdasarkan perhitungan bulan gelap dan bulan terang dan juga dengan melihat tanda-tanda alam. Satu bulan sebelum Pasola dilaksanakan, seluruh warga wajib untuk mematuhi berbagai pantangan, seperti tidak boleh mengadakan pesta maupun membangun rumah.

Artikel ini ditulis oleh Husna Putri Maharani peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.




(nor/nor)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads