Liputan Khusus Ogoh-Ogoh

Ogoh-Ogoh, Bermula dari Orang-orangan untuk Ngaben dan Jadi Tradisi

Agus Eka, Putu Adi Budiastrawan, Putu Krista, Ni Made Lastri Karsiani Putri - detikBali
Senin, 11 Mar 2024 10:30 WIB
Ogoh-ogoh bertema 'Aji Cakragni' karya ST Eka Dharma Panca Kerti, Desa Subamia, Tabanan, Bali. Foto: Ahmad Firizqi Irwan/detikBali
Denpasar -

Pawai ogoh-ogoh menjelang pergantian tahun saka atau Hari Raya Nyepi menjadi tradisi di Bali. Seni instalasi patung berwujud sosok raksasa yang diadaptasi dari cerita rakyat maupun kisah dalam mitologi Hindu itu sebenarnya budaya baru bagi warga Pulau Dewata.

Staf Ahli Kebudayaan Pariwisata Kota Denpasar Komang Indra Wirawan menjelaskan ogoh-ogoh sebagai budaya baru di Bali terinspirasi dari ritual Pitra Yadnya, Kaki Patuk Nini Patuk. Ogoh-ogoh mulai dikaitkan rangkaian Nyepi sejak 1983 dan disosialisasikan melalui Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-12.

"Budaya baru dan ogoh-ogoh itu dipamerkan atau diparadekan dalam PKB ke-12," tutur pria yang akrab disapa Komang Gases itu, Selasa (5/3/2024).

Komang Gases menjelaskan secara prinsip ogoh-ogoh tidak terkait langsung dengan Hari Raya Nyepi. Menurutnya, prosesi yang terkait langsung dengan Nyepi antara lain melasti, tawur kasanga, hingga ngembak geni.

Seniman yang juga akademikus itu mengungkapkan pawai ogoh-ogoh saat Pengerupukan bermula untuk mengisi kesenjangan waktu saat Tilem Kasanga. "Tidak ada ogoh-ogoh pun, Hari Raya Nyepi tetap dilaksanakan. Inilah yang dinamakan budaya agama, agama yang dibudidayakan," imbuh Komang Gases.

Ogoh-ogoh, Komang Gases melanjutkan, bersifat profan dan tidak ada kaitannya dengan sakralisasi. Namun, karena masyarakat Hindu di Bali percaya dengan sebuah proses, maka setiap pekerjaan termasuk berkarya seni selalu dikaitkan dengan ritual meskipun kecil.

Pembuatan ogoh-ogoh oleh pemuda Desa Manduang, Klungkung, Bali, Sabtu (2/3/2024). Foto: Putu Krista/detikBali


Komang Gases menegaskan ogoh-ogoh merupakan produk seni yang turut melibatkan nilai-nilai etika, estetika, dan logika. Ia menilai besar kecilnya dana yang dibutuhkan untuk menggarap karya ogoh-ogoh bersifat relatif.

"Besar kecilnya dana yang dikeluarkan itu relatif tergantung bagaimana sang kreator, seniman, mengaplikasikan bentuk-bentuk karya yang dipergunakan," imbuh penulis buku 'Calonarang: Ajaran Tersembunyi di Balik Tarian Mistis' itu.

Akademikus dari Universitas Hindu Indonesia (Unhi) Denpasar, I Kadek Satria, menjelaskan awal mula ogoh-ogoh di Bali bermula dari pembuatan orang-orangan sebagai pelengkap upacara ngaben yang berkembang di wilayah Bali selatan. Namun, tradisi pembuatan ogoh-ogoh tidak muncul di daerah-daerah desa tua atau Bali Mula alias Bali Aga.

Ukuran orang-orangan itu, Satria melanjutkan, dibuat lebih besar sebagai personifikasi atau perwujudan dari makhluk abstrak. Meski begitu, tidak setiap upacara ngaben menyertakan sarana upacara ini.

"Personifikasi atau perwujudan dari makhluk abstrak dimohonkan sebagai pengeruak pemargi demi kelancaran sekala (yang terlihat) dan niskala (yang tidak terlihat) pelaksanaan upacara ngaben," ungkap Satria.

Simbol makhluk abstrak itulah yang lambat laun bertransformasi hingga dibuat menjadi ogoh-ogoh yang dikenal khalayak saat ini. Menurutnya, penamaan ogoh-ogoh berasal dari kata ogah-ogah yang diidentikkan sebagai makhluk berukuran besar.

Akademikus asal Buleleng ini berpendapat pengarakan ogoh-ogoh menjelang Nyepi bisa bermakna sebagai pelengkap ritual. Bisa juga sebagai cara orang Bali menetralisasi kekuatan bhuta (kekuatan negatif) melalui kreativitas.

"Pelaksanaan agama harus berangkat dari kesadaran akan alam dan lingkungan,"papar Satria. "Itulah konsep Tri Hita Karana."

Apa saja tema ogoh-ogoh yang kerap diangkat oleh kelompok pemuda di Bali? Baca selengkapnya di sini.




(iws/gsp)

Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork