Mengenal Tradisi Ngaben dan Nyekah, Upacara Kematian di Bali

Bali

Mengenal Tradisi Ngaben dan Nyekah, Upacara Kematian di Bali

Dewa Gede Kumara Dana - detikBali
Senin, 14 Agu 2023 03:35 WIB
Fire engulfs a giant effigy of a mythical animal containing the remains of 117 people during a traditional mass cremation called ngaben on Friday, July 29, 2022, in Padangbai, Bali, Indonesia. The previously buried remains were dug up and placed in a temporary shrine before being cremated. Balinese believe that cremating the dead liberates their souls, allowing them to enter the higher world to reincarnate into better beings. (AP Photo/Firdia Lisnawati)
Prosesi Ngaben Massal di Bali. Foto: AP/Firdia Lisnawati
Bali -

Ngaben dan Nyekah merupakan tradisi adat di Bali yang memiliki kaitan erat dengan kematian seseorang. Biasanya, masyarakat sudah tak asing dengan upacara Ngaben yang dilaksanakan dengan membakar jenazah orang mati.

Namun, ternyata di Bali juga ada tradisi Nyekah yang juga berkaitan dengan kematian. Yuk, simak lebih lanjut perbedaan kedua tradisi ini mulai dari makna, tujuan, dan yang lainnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

NGABEN

Dilansir dari laman resmi Kesrasetda Buleleng, Ngaben adalah tradisi pembakaran jenazah bagi umat Hindu di Bali. Ngaben sudah dikenal masyarakat luas dan identik dengan arak-arakan bade atau tempat jenazah diusung serta lembu tempat jenazah dibakar.

Ngaben dilaksanakan dengan iring-iringan masyarakat sebagai bentuk penghormatan menemani jenazah ketika akan menyatu dengan Tuhan. Tujuan Ngaben agar raga sarira manusia dapat kembali ke asalnya dengan cepat, yaitu ke panca maha butha dan atman dapat bersatu kembali kepada sang pencipta.

ADVERTISEMENT

Ngaben didasarkan pada landasan filosofis panca sradha atau lima kerangka dasar agama Hindu. Secara khusus, Ngaben dilatarbelakangi wujud kasih sayang kepada leluhur dan bakti kepada orang tua. Secara singkat Ngaben merupakan proses pengembalian unsur panca maha butha kepada sang pencipta.

Pelaksanaan Ngaben dilaksanakan dengan upacara atiwa-tiwa yang berarti penyucian dan pembersihan jenazah dari kekuatan panca maha bhuta. Pelaksanaan atiwa-tiwa juga dikenal dengan ngeringkes atau ngelelet, yang bermakna pengembalian dan penyucian asal mula manusia berupa huruf suci sehingga harus dikembalikan lagi.

Upacara atiwa-tiwa dibagi menjadi beberapa prosesi, yaitu upacara munggah di kemulan, upacara munggah di surya, upacara di samping jenazah, upacara pepegatan, upacara pengiriman, upacara pengentas bambang, dan upacara di sanggah cucuk.

NYEKAH

Dilansir dari laman resmi Desa Sangeh, Nyekah adalah upacara adat Bali dengan tujuan memutuskan ikatan atma roh leluhur dari unsur panca maha bhuta dan panca tan panca tan matra.

Dalam upacara atma wedana, nama pitra atau leluhur perempuan akan diganti dengan nama bunga seperti cempaka, sandat, jempiring, dan lain-lain. Sedangkan, sawa atau leluhur pria akan memakai nama kayu seperti cendana, damulir, ketewel, dan lain-lain.

Nyekah dibagi menjadi menjadi beberapa prosesi. Pertama ngulapin di segara, memohon izin Bhatara Baruna untuk melanjutkan upacara. Lalu dilanjutkan ngajum sekah dengan membuat simbol panca tan matra dalam bentuk puspa lingga sarira.

Prosesi selanjutnya ngaskara sekah yaitu mendak dan menyucikan puspa lingga, setelah itu narpana sekah dengan menghaturkan sesajen yadnya kepada atman yang sudah disucikan.

Dilanjutkan dengan prosesi ngeseng atau mapralina sekah yang dilaksanakan dengan membakar puspa lingga simbol menghilangkan panca tan matra. Setelah itu ditutup dengan prosesi nganyut sekah upacara mapralina, kelanjutan dari membuang panca tan matra serta menyucikan atma dengan air sungai suci yang bermuara ke laut.

Dalam hal ini laut dipandang sebagai perwakilan ketujuh sungai sapta gangga. Pada dasarnya, upacara nyekah dilakukan setelah upacara Ngaben dilaksanakan.




(irb/irb)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads