Warga di Desa Asahduren, Kecamatan Pekutatan, Kabupaten Jembrana, Bali, memiliki tradisi nampah kebo (memotong kerbau) menjelang Galungan. Selain dikonsumsi, daging kerbau itu juga akan dijadikan sesajen dan dipersembahkan saat Galungan.
"Tradisi ini bermula dari penuturan orang tua dulu bahwa ada beberapa pura yang tidak boleh menghaturkan daging babi seperti Pura Penataran Luhur hingga Pura Kawitan, sehingga menyiasati dengan daging kerbau," ungkap Jero Bendesa Asahduren, I Kadek Suentra, Senin (2/1/2023).
Kerbau yang telah dipotong kemudian diolah menjadi beraneka ragam masakan seperti sate, tum, gorengan, dan olahan lainnya untuk dijadikan sesajen saat Hari Raya Galungan. Sisanya juga diolah menjadi rawon, dendeng, dan lainnya untuk dikonsumsi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Per ekor biasanya dibagi menjadi 40 bagian dan dibagikan ke masyarakat yang ikut kelompok," imbuhnya.
![]() |
Saat nampah kebo, warga membentuk kelompok-kelompok dengan jumlah anggota 25 hingga 30 orang. Mereka patungan membeli kerbau dari luar desa. Masing-masing orang menyumbang sekitar Rp 1 juta untuk dapat membeli satu ekor kerbau yang dipotong dua hari menjelang Galungan.
"Ada beberapa anggota kelompok sudah menabung untuk keperluan pembelian kerbau. Ketika Galungan, tabungan tetap itu dipotong untuk digunakan mepatung (patungan). Sisanya untuk keperluan lain," kata Suentra.
Suentra mengaku, jumlah kerbau yang dipotong untuk Galungan menurun sejak pandemi COVID-19. Harga kerbau yang lumayan mahal juga menjadi persoalan. "Dulu memotong sebanyak 8-10 kerbau, namun sekarang hanya 6 kerbau."
"Per ekor kerbau harganya itu sampai Rp 30-40 juta lebih," imbuh Suentra.
(iws/gsp)