Kelompok masyarakat kelas menengah kini semakin terjepit di tengah tekanan ekonomi. Kenaikan harga barang dan jasa, cicilan yang terus berjalan, hingga kebutuhan mendadak tanpa aba-aba menjadi beban keuangan tersendiri bagi mereka.
Lebih parah lagi, sebagian dari mereka berpenghasilan pas-pasan namun tidak termasuk penerima bantuan sosial dari pemerintah. Akibatnya, banyak yang terpaksa menguras tabungan atau mencari pinjaman untuk menutup kebutuhan hidup.
Pinjol Naik, Kredit UMKM Turun
Ekonom senior Institute for Development Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad mengatakan, gejala makin terimpitnya kelas menengah terlihat dari meningkatnya jumlah pinjaman online (pinjol) dan pengeluaran konsumsi masyarakat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari sisi pinjaman, menurut Tauhid, jumlah masyarakat yang mengakses pinjol terus meningkat, begitu juga dengan total utang yang dimiliki. Sebaliknya, pertumbuhan kredit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) justru menurun.
Ia menjelaskan kondisi ini menunjukkan bahwa kelas menengah kini banyak membutuhkan pembiayaan hanya untuk konsumsi sehari-hari. Artinya, uang habis untuk kebutuhan pokok, bukan untuk investasi atau pengembangan usaha.
"Kredit UMKM trennya itu berkebalikan dengan yang pinjaman online. Walaupun (non-performing loan/kredit macet pinjol) NPL-nya katakanlah di bawah 3%, tapi kan trennya makin tinggi. Menunjukkan bahwa dari sisi itu kelas menengah makin sulit," kata Tauhid, dilansir dari detikFinance, Selasa (7/10/2025).
Tabungan Makin Seret
Tauhid menambahkan, data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) juga menunjukkan perlambatan pertumbuhan tabungan masyarakat. Tabungan dengan saldo di bawah Rp 100 juta dari Juli 2016 hingga Juli 2019 tumbuh 26,3%, namun pada periode Juli 2021 hingga Juli 2024 hanya naik 11,9%.
Hal serupa terjadi pada tabungan dengan saldo Rp 100 juta hingga Rp 200 juta. Pada periode Juli 2016-Juli 2019 tumbuh 29,4%, sementara pada Juli 2021-Juli 2024 hanya tumbuh 13,3%.
"Simpanan di bawah 100 juta, kalau kita lihat data LPS, makin lama makin turun kan, nggak naik-naik. Nah itu menunjukkan kemampuan daya tahan mereka untuk menghadapi goncangan atau kenaikan biaya hidup semakin turun," paparnya.
Fokus untuk Bertahan Hidup
Gejala makin beratnya beban kelas menengah juga terlihat dari meningkatnya porsi pengeluaran untuk makanan. Menurut Tauhid, hal ini menandakan masyarakat hanya mampu memenuhi kebutuhan pokok.
"Kalau konsumsi makanan semakin tinggi, berarti pengeluaran mereka untuk non-makanan kan semakin berkurang. Artinya mereka nggak ada duit yang buat non-makanan. Padahal konsumsi non-makanan semakin tinggi menunjukkan bahwa kelas menengah semakin baik," jelas Tauhid.
Gadai Barang demi Bertahan
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menyampaikan pandangan serupa. Menurutnya, makin beratnya tekanan ekonomi kelas menengah terlihat dari pertumbuhan industri pinjol dan meningkatnya praktik menggadaikan barang.
Tak hanya pinjol, banyak masyarakat yang kini menjual atau menggadaikan aset karena gaji sudah tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari.
"Data resmi OJK mengungkap kenaikan outstanding pinjol dari 2020-2025 tumbuh 651%. Sementara masyarakat yang menggadaikan barangnya juga naik 66% dalam 5 tahun terakhir. Kalau tidak ke pegadaian ya ke pinjol, se-desperate itu kelas menengah," terangnya.
Simak Video "Video Utang Warga +62 Naik! Pinjol Rp 83,52 T dan Paylater Rp 31,5 T"
[Gambas:Video 20detik]
(dpw/dpw)