Ekonom Sebut Efisiensi Biang Kerok Daerah Naikkan PBB Gila-gilaan

Nasional

Ekonom Sebut Efisiensi Biang Kerok Daerah Naikkan PBB Gila-gilaan

Andi Hidayat - detikBali
Jumat, 15 Agu 2025 07:36 WIB
Massa yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Pati Bersatu berunjuk rasa di depan Kantor Bupati Pati, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Rabu (13/8/2025). Dalam unjuk rasa yang dihadiri sekitar 100 ribu warga itu menuntut Bupati Pati Sudewo agar mundur dari jabatannya karena dinilai arogan dan sejumlah kebijakannya tidak pro ke masyarakat. ANTARA FOTO/Aji Styawan/tom.
Foto: Massa yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Pati Bersatu berunjuk rasa di depan Kantor Bupati Pati, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Rabu (13/8/2025). (ANTARA FOTO/Aji Styawan)
Jakarta -

Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pati, Jawa Timur (Jatim), menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 250%. Kenaikan PBB di sejumlah daerah diduga disebabkan kebijakan efisiensi anggaran pemerintah pusat. Efisiensi anggaran itu juga memotong dana transfer daerah 50%.

Direktur Pengembangan Big Data Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Eko Listiyanto, menjelaskan kenaikan PBB gila-gilaan berawal dari pemangkasan dana transfer daerah yang dilakukan pemerintah pusat sebesar Rp 50 triliun.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ada unsur dari kebijakan pemerintah pusat yang ber-impact terhadap situasi di Pati kemarin," ungkap Eko kepada wartawan di Menara Danareksa, Jakarta, Kamis (14/8/2025) dilansir dari detikFinance.

"Kenapa? Karena banyak daerah kita itu belum, kapasitas fiskalnya itu belum tinggi. Kapasitas fiskalnya rata-rata malah rendah, artinya mereka sangat bergantung dari kehadiran dana dari pusat ke daerah-daerah," tambah Eko.

ADVERTISEMENT

Pati, kata Eko, termasuk daerah yang belum cukup kuat secara fiskal. Sehingga, Pemkab Pati mengambil jalan pintas untuk menambah penerimaan dengan mengerek besaran PBB secara gila-gilaan kendati dinilai tidak berkelanjutan.

Eko menduga kenaikan PBB besar-besaran ini juga pasti dilakukan oleh sejumlah pemerintah daerah lain. Padahal, menurutnya, pemerintah daerah perlu menggerakkan aktivitas ekonomi secara masif untuk meningkatkan penerimaan fiskalnya.

"Kepala daerah rupanya memilih short term, cara-cara cepat, PBB rata-rata yang ditarget karena langsung (ke penerimaan) pajak daerah," jelas Eko.

Eko menilai kenaikan PBB yang dilakukan pemerintah daerah tidak disertai kajian yang cermat. Eko menduga besaran PBB yang dipatok pemerintah daerah didasarkan pada kekurangan dana transfer yang diefisiensikan pemerintah pusat.

"Dugaan saya itu menghitung dari gap yang harus dia dapat, 'uang' sebagai pengganti dari efisiensi yang dilakukan dari berkurangnya transfer dari pusat. Akhirnya, mungkin kalau disimulasikan 250% (PBB) naik, nutup nih. At least nambah pendapatan dari daerah untuk APBD-nya," terang Eko.

Artikel ini telah tayang di detikFinance. Baca selengkapnya di sini!




(hsa/hsa)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads