Pantai Sanur Ramai Pengunjung di Musim Liburan, tapi Irit Belanja

Pantai Sanur Ramai Pengunjung di Musim Liburan, tapi Irit Belanja

Fabiola Dianira - detikBali
Minggu, 06 Apr 2025 11:30 WIB
Sejumlah lapak pedaganng dan penyewaan ban serta pelampung di Pantai Sanur.
Foto: Sejumlah lapak pedagang dan penyewaan ban serta pelampung di Pantai Sanur. (Fabiola Dianira/detikBali)
Denpasar -

Pantai Sanur di Denpasar Selatan ramai pengunjung atau wisatawan selama libur Lebaran. Namun, tak semua pelaku usaha kecil merasakan dampaknya. Para pengunjung cenderung lebih irit belanja.

Kadek, pedagang serabutan yang telah berjualan di Pantai Sanur selama 25 tahun, mengaku penghasilannya kini menurun drastis dibandingkan sebelum pandemi COVID-19.

Kadek menjajakan aneka makanan dan minuman, menyewakan tikar serta ban pelampung untuk anak-anak. Dia juga menjual jagung bakar.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Pokoknya serabutan lah, maunya apa saya jual ya saya jual," ujarnya ketika ditemui sedang membakar jagung di bibir Pantai Sanur, Sabtu (5/4/2025).

Sayangnya, meski pengunjung meningkat selama musim libur panjang, penghasilan Kadek tetap tidak menentu. Contohnya, untuk penyewaan ban pelampung, dalam sehari ia hanya bisa mendapatkan satu hingga dua penyewa saja.

ADVERTISEMENT

"Penjualan ban pelampung ini nggak tentu. Sehari paling dapatnya satu atau dua. Walaupun hari libur tetap kayak gitu sekarang. Kalau dulu lumayan bisa dapat Rp200 ribu - Rp300 ribu," keluh Kadek yang mengandalkan satu-satunya penghasilan dari lapaknya di Pantai Sanur.

Kadek mengenang masa-masa sebelum pandemi. Kala itu, saat akhir pekan, ia bisa mendapatkan hingga Rp1 juta dari barang-barang dia jual dan sewakan.

"Beda pokoknya sekarang sama dulu sebelum corona, dulu itu lumayan. Sekarang jauh banget," kata ibu lima anak itu.

Kadek mengungkapkan pengunjung Pantai Sanur di musim liburan ini meningkat. Namun, sebagian besar hanya datang untuk menikmati suasana tanpa berbelanja atau menyewa barang.

"Wisatawannya lebih ramai, tapi nggak berdampak. Jarang yang beli atau sewa, mungkin uangnya nggak ada. Anak-anaknya sampai nangis minta pelampung, tapi orang tuanya nggak mau sewakan," tutur perempuan asal Nusa Penida itu.

Padahal, harga sewa yang ditawarkan masih terjangkau. Sewa tikar dibanderol Rp 15 ribu, pelampung mulai dari Rp 15 ribu hingga Rp 20 ribu, tergantung ukuran.

Kadek juga menyampaikan keluhan terhadap banyaknya perubahan aturan di kawasan Pantai Sanur. Menurutnya, perubahan-perubahan yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir membuat para pedagang kecil merasa semakin terpinggirkan.

"Semua mengeluh karena semua berubah-ubah terus gitu. Ini diubah, itu diubah terus," ujar perempuan asal Nusa Penida, Klungkung, itu.

Meski demikian, Kadek tetap berusaha bertahan, berharap suatu hari nanti kondisi kembali seperti sedia kala agar kelak bisa menghidupi keluarganya dan terus menyekolahkan anak terakhirnya hingga selesai pendidikannya.

Senada dengan Kadek, Ketut Data, pedagang makanan ringan dan penyewa tikar di kawasan juga mengeluhkan hal serupa.

"Banyak orangnya tapi belum tentu dia belanja. Kadang beli kopi satu gelas, duduknya tiga jam. Rugi juga kan," ucap pria 50 tahun itu.

Data mengakui penataan pedagang di Pantai Sanur masih semerawut dan tak teratur. Berbeda dengan di Pantai Sindhu yang menurutnya lebih tertata dan bisa memberi kepastian pendapatan. Di Sanur, saat ini pedagang seperti harus berpindah-pindah tempat tanpa kejelasan karena renovasi terus berlangsung.

"Sekarang diubah-ubah, kami harus angkat sana angkat sini, besoknya pindah-pindah," ujar pria asal Nusa Penida itu.

Data tetap bertahan di Pantai Sanur karena ini merupakan satu-satunya sumber air bagi keluarganya. "Kalau ada pekerjaan lain saya tinggalkan pantai ini," ucapnya.

Penghasilannya tak menentu, bahkan saat ramai seperti musim liburan. Dalam sehari, paling tinggi ia bisa meraup Rp 200 ribu dengan usaha yang tidak berbanding. "Penghasilan terbesar sehari Rp 200 ribu, itu saja harus menangis-nangis dapatnya," katanya.

Anak bungsunya, Widiantari, ikut membantu berjualan ketika sedang libur sekolah. Ia juga menyadari bahwa daya beli wisatawan kini menurun pascapandemi COVID-19.

"Keadaan tidak seperti sebelum corona. Karena sekarang juga banyak renovasi, kami dipindah-pindah, tapi bayar sewa tetap sama, Rp 40 juta per tahun," ujar perempuan 18 tahun itu.

Data nampak menumpahkan segala keadaan yang belum berpihak padanya, meski begitu ia dan keluarganya tak bisa berbuat banyak. "Tetap kesabaran aja yang penting kami bisa beli beras sekilo," katanya pasrah.




(hsa/hsa)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads