Kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang mematok bea impor 32 persen untuk produk-produk dari Indonesia membuat eksportir di Nusa Tenggara Barat (NTB) ketar-ketir. Salah satunya dirasakan Mujnah, eksportir kemiri asal NTB.
Mujnah menyebut kebijakan Trump dapat berpengaruh pada penurunan nilai aset tetap secara bertahap atau depresiasi. Meski belum mengirim produk kemiri ke AS, Mujnah menyebut kriteria produk yang masuk ke Negeri Paman Sam akan semakin sulit seusai keluarnya kebijakan Trump tersebut.
"Sejujurnya, kami terganggu dengan adanya kebijakan Trump ini. Khususnya bagi UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah) yang melakukan ekspor ke sana," ujar Mujnah saat dihubungi detikBali di Mataram, Sabtu (5/4/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif impor terbaru yang dinamai 'Liberation Day' atau 'Hari Pembebasan' dan secara efektif mulai diterapkan hari ini. Kebijakan tersebut memberlakukan tarif dasar sebesar 10 persen untuk seluruh produk impor ke AS.
Tambahan tarif lebih tinggi dikenakan pada negara-negara tertentu yang dinilai melakukan praktik perdagangan merugikan AS. Beberapa di antaranya China yang dikenakan tarif sebesar 34 persen, Uni Eropa 20 persen, dan Indonesia 32 persen.
"Bagi kami yang pemula dalam kegiatan ekspor tentu akan terdampak, khususnya dari segi biaya dan daya saing. (Kebijakan Trump) ini bisa membuat depresiasi dan rupiah akan melemah. Sementara, kami yang pemula butuh di-back up," terang Mujnah.
Untuk saat ini, Mujnah baru mengirim kemiri ke sejumlah negara seperti Arab Saudi hingga Jepang. Ia juga sudah menerima permintaan kemiri dari Hongkong dan Selandia Baru.
Eksportir di Bali Khawatir
Sebelumnya, kebijakan Trump yang memasang bea impor 32 persen juga membuat eksportir di Bali khawatir. Mereka kini bersiap mengalihkan pasar ke Eropa.
Ketua Umum Asosiasi Eksportir dan Produsen Handicraft Indonesia (ASEPHI) Bali, Ketut Dharma Siadja, menyebut kebijakan Trump sebagai bentuk perang dagang yang sesungguhnya. Para eksportir, dia berujar, sebenarnya sudah memprediksi arah kebijakan-kebijakan ketika terpilih sebagai Presiden AS.
"Ketika satu negara menghambat negara lain, maka negara tersebut pasti akan membalas. Itulah yang sedang terjadi sekarang," ujar Dharma.
Dharma menyatakan ekspor ke AS akan mengalami perlambatan akibat tarif baru tersebut. Namun, ia melanjutkan, besaran tarif kemungkinan akan bervariasi antarkomoditas.
Bali sendiri dikenal sebagai penghasil berbagai komoditas ekspor unggulan seperti kerajinan kayu, perak, furnitur, bambu, kerang, produk perikanan, vanili, dan hasil perkebunan lainnya.
Menurut Dharma, kebijakan ini tidak terlepas dari dinamika hubungan dagang kedua negara. Sebelumnya, Indonesia juga telah memberlakukan tarif yang cukup tinggi terhadap produk-produk AS.
"Mungkin sekarang Amerika berpikir, kenapa hanya kami yang dikenai tarif tinggi? Maka mereka membalas dengan cara yang sama. Ini murni perang dagang, dan kita tidak bisa mengelak," ujar Dharma yang saat ini sedang berada di Turki.
(iws/iws)