Pemerintah Indonesia membidik pajak sektor usaha digital milik perusahaan asing melalui solusi dua pilar. Hal itu disampaikan saat pembukaan Forum Pajak Internasional di Bali yang digelar selama dua hari.
"Solusi dua pilar menyasar isu perpajakan internasional yang dapat berdampak pada perekonomian global," kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Kacaribu saat membuka Forum Pajak Internasional di Kuta, Kabupaten Badung, Bali, Selasa (24/9/2024).
Febrio mengatakan solusi dua pilar itu terdiri dari Pajak Minimik Global dan Subject to Tax Rule (STTR). Fungsinya, mendapatkan pemasukan pajak Indonesia dari perusahaan asing yang bergerak di sektor digital. Terutama bagi perusahaan asing yang tidak memiliki kantor di Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan begitu, hak pengenaan pajak dapat dialihkan atau menyasar ke pasar antarnegara atau yurisdiksi. Hal itu dilakukan sebagai alternatif badan usaha yang memiliki usaha, tapi tidak punya kantor di luar negeri.
Sehingga, selain Indonesia memperoleh pendapatan dari pajak, iklim usahanya juga akan lebih baik.
"Jika Indonesia tidak menerapkan dua pilar, maka potensi pajak akan diambil negara lain. Ini sama saja menyubsidi negara lain. Oleh karena itu, penyelarasan kebijakan pajak domestik dengan kerangka kerja perpajakan internasional sangat berperan dalam menciptakan iklim bisnis serta investasi yang lebih adil dan transparan," urai Febrio.
Menurutnya, adaptasi kebijakan pajak yang bersifat global perlu dimiliki Indonesia. Apalagi, banyak perusahaan besar di bidang teknologi yang beroperasi dan menjual produknya di Indonesia tanpa mendirikan kantor.
Hal itu menjadi kendala ketika pemerintah tidak punya yurisdiksi untuk menarik pajak dari perusahaan yang tidak berada di Indonesia. Kedua, terkait perang tarif pajak rendah yang dianggap menganggu perekonomian karena berkurangnya potensi pendapatan dari pajak.
Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiwandono mengatakan Indonesia perlu memperkuat perekonomian domestiknya. Termasuk memperluas arah kebijakan pajaknya hingga ke ranah antarnegara.
Apalagi, dengan banyaknya perusahaan multinasional beradaptasi dengan tekanan perekonomian global, mereka cenderung melebarkan sayap usahanya ke sejumlah negara sebagai pasar. Dengan begitu, Indonesia dan negara lain berpotensi kehilangan pendapatan dari pajak.
"Dengan perkembangan teknologi digital yang melintas batas negara, sistem perpajakan biasa menjadi kedaluwarsa. Perusahaan multinasional beroperasi di banyak negara tanpa kehadiran (kantor) fisik," kata Thomas dalam pernyataan yang disampaikan secara daring.
Akibatnya, keuntungan yang didapat perusahaan multinasional di sebuah negara tanpa kantor, akan sulit dipajaki. Pada akhirnya, akan mengganggu kerangka kerja kebijakan pajak di negara yang jadi pasar.
Karenanya, banyak negara yang melakukan pengubahan kebijakan perpajakan. Hal itu dilakukan sebagai upaya adaptasi atas tren perkembangan dunia usaha di bidang teknologi digital itu.
"Ada ketidaksinkronan antara di mana keuntungan perusahaan itu didapat dan di mana membayar pajaknya. Sangat merugikan, terutama bagi negara berkembang," tandas Thomas.
(hsa/hsa)