Harga Beras di NTB Berpotensi Naik pada Akhir Tahun

Harga Beras di NTB Berpotensi Naik pada Akhir Tahun

Nathea Citra - detikBali
Minggu, 28 Jul 2024 19:18 WIB
Stok beras SPHP milik Bulog yang tersedia di sejumlah retail modern di Kota Mataram beberapa waktu lalu.
Foto: Stok beras SPHP milik Bulog yang tersedia di sejumlah retail modern di Kota Mataram beberapa waktu lalu. (Nathea Citra/detikBali)
Mataram -

Serapan gabah di Nusa Tenggara Barat (NTB) pada semester II tahun ini diperkirakan lebih kecil dibandingkan tahun sebelumnya. Walhasil, kondisi itu berpotensi membuat harga beras mengalami kenaikan. Terutama pada akhir tahun.

Wakil Pimpinan Wilayah (Wapimwil) Badan Urusan Logistik (Bulog) NTB Musazdin Said mengatakan, serapan gabah dan beras di semester I kurang lebih 47.264 ton. Sedangkan untuk semester II, serapannya akan jauh lebih kecil lantaran jumlah panen juga semakin menurun.

"Mungkin ada nanti panen di bulan Agustus atau September, tapi memang tidak banyak lagi," katanya, Minggu (28/7/2024).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Musazdin, daerah yang akan panen di bulan tersebut ada di Kabupaten Lombok Tengah dan sedikit untuk di Kabupaten Lombok Timur. "Sementara untuk Sumbawa dan Bima, panen padi sudah tidak ada. Lantaran musim tanam padi di Sumbawa dan Bima hanya satu kali dalam setahun," jelasnya.

Di sisi lain, serapan gabah yang dilakukan di semester II ini, Musazdin melanjutkan, sebenarnya sudah masuk kategori komersil. Artinya, bukan lagi gabah yang disimpan untuk cadangan pangan pemerintah. Gabah tersebut sifatnya komersil karena panen sudah menurun dan memasuki musim paceklik.

ADVERTISEMENT

"Jadi harga gabahnya sendiri sudah tinggi, sehingga kita belinya nanti sifatnya komersil. Nanti ketika sudah jadi beras, jadinya beras komersil, bukan untuk cadangan beras lagi," ujarnya.

Sementara panen menurun, Bulog NTB tetap mengoptimalkan penyerapan sebanyak-banyaknya, untuk kebutuhan komersil itu sendiri. Hal itu dilakukan lantaran pada akhir tahun nanti harga beras bisa saja tinggi. Pada momen itu, Bulog akan menjual beras komersilnya.

Meski menjual secara komersil, namun harga yang diberikan Bulog tetap di bawah harga yang dijual pedagang beras. Misalnya, harga beras komersil sebesar Rp 14.500 per kilogram naik menjadi Rp 15.000-16.000 pada akhir tahun. Bulog akan menjual beras komersilnya di kisaran Rp 14.000-14.500 per kilogram.

"Artinya tetap jauh dari harga beras komersil di pasaran," terangnya.

Sementara terkait gudang penyimpanan, Musazdin mengaku itu masih memadai meski saat ini tengah menyerap hasil panen jagung. Hal itu lantaran Bulog juga menggunakan gudang-gudang penyimpanan milik mitranya. Jumlah serapan jagung saat ini diakuinya kurang lebih sebanyak 57 ribu ton.

Sementara itu, Wakil Ketua Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) NTB Berry Arifsyah Harahap mengatakan naiknya harga beras bisa berkontribusi menyebabkan lonjakan inflasi. TPID terus melakukan berbagai upaya untuk mengendalikan inflasi di NTB.

Pengendalian inflasi ini dibagi dalam jangka pendek dan jangka panjang. Jangka pendeknya berupa kegiatan operasi pasar dan impor beras jika produksinya kurang. Meski begitu, sejauh ini belum ada persoalan signifikan terkait beras.

Jika produksi tetap tinggi, beras ini dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama. Terlebih Bulog NTB sudah melakukan penyerapan beras petani selama masa panen beberapa waktu lalu.

"Jadi sebenarnya musim kemarau dan musim hujan bisa kita lalui. Kalau misalnya banyak stoknya," ujar Berry.

Setelah diserap, Bulog akan mengoptimalkan hasil serapan gabah petani. Dari serapan tersebut, ada yang disimpan sebagai stok cadangan pemerintah dan ada juga dipasarkan, sehingga harga itu bisa terjaga di pasaran.

"Bulog bekerja untuk menstabilkan harga, artinya ketika harga beras itu cukup tinggi, maka akan dikeluarkan stok yang ada, sehingga turun lagi harganya. Tidak bisa dipungkiri, untuk menstabilkan harga harus dibarengi dengan kekuatan stok komoditas itu sendiri," tandas Berry.




(hsa/gsp)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads