Kabupaten Badung, Bali, terdapat sejumlah bengkel produksi gamelan yang sudah menghasilkan ratusan bahkan ribuan gamelan sejak 1980-an. Misalnya bengkel milik Nyoman Suwitra di Dusun Selat, Desa Beringkit, Kecamatan Mengwi, Badung.
Bedanya, gamelan yang diproduksi tidak memakai bahan logam kuningan seperti di Klungkung, sentranya kerajinan gamelan di Bali. Gamelan yang satu ini dibuat dari olahan drum (wadah minyak) bekas. Sehingga harganya jauh lebih ekonomis dibanding harga gamelan dengan bahan yang lebih solid.
Bengkel ini sudah berdiri sejak 1970-an. Selain terkenal di sejumlah wilayah di Gumi Keris -sebutan Badung-, gamelan produksi Suwitra juga keseringan masuk ke sejumlah pasar di seluruh Bali. Terutama wilayah Jembrana dan Buleleng.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pemilik bengkel, Nyoman Suwitra, adalah generasi kedua yang meneruskan usaha ini. Usaha ini mulanya digerakkan almarhum ayahnya, Made Kembar, sejak 1970-an. Mulai pada 1980, Nyoman ikut membantu bekerja di bengkel ayahnya sampai meneruskan sekarang.
"Sejak SMP saya mulai serius bantu-bantu. Yang awalnya cuma bantu angkat barang, ambil bahan ke tempat-tempat, mulai kerja di dalam (bengkel). Di sana saya juga belajar cara bikinnya, tahun 1980-an," tutur Suwitra, Minggu (14/1/2024).
Sebelum bergerak di industri kerajinan gamelan, bengkel keluarga ini mulanya lebih banyak membuat dandang dan perabot rumah tangga. Bahannya sama dari drum bekas yang didatangkan dari sejumlah daerah di Pulau Jawa.
Tanpa mau menyebut nilainya, bahan-bahan itu ia beli lalu diolah menjadi kerajinan seperti dandang, panci, hingga mangkok. Lambat-laun, keluarga Suwitra melihat peluang di pemasaran gamelan.
![]() |
"Yang waktu itu produksi gamelan yang serius, pakai bahan logam kuningan itu tidak banyak. Modal produksi juga besar, dan belum cukup kemampuan untuk membuat itu. Jadi pasar gamelan yang ramai di tahun itu, mulai berpikir, kenapa tidak coba saja sambil buat gamelan," ungkap Suwitra.
Sambil produksi gamelan, Suwitra dan ayahnya waktu itu mulai coba-coba merakit lempengan drum bekas itu menyerupai bagian-bagian gamelan. Ia mulai mencoba membuat kecek, riong, dan gong, lalu membuatnya lebih banyak.
Bak gayung bersambut, gamelan buatan Suwitra diminati pasaran. Menurut dia, alasan gamelannya diminati karena lebih murah dan terjangkau di kalangan masyarakat menengah.
"Karena waktu itu peminatnya bukan cuma pribadi orang-orang, tapi kelompok. Sekolah-sekolah TK itu juga pesan gamelannya pakai gamelan besi karena lebih murah. Jadi alternatif istilahnya," ujar Suwitra.
Produksi gamelan di bengkel milik Suwitra berlangsung hampir setiap hari karena ramainya pesanan. Ia kerap mengambil permintaan kelompok-kelompok seni yang ada di luar Badung. Apalagi jumlah pekerja terbatas hanya melibatkan keluarga.
Satu gamelan perlu waktu dua sampai sepekan tergantung jenis yang dibuat. Misalnya pembuatan gong yang bisa memakan waktu lima hari, atau paling mudah membuat riong atau kecek hanya dua hari.
"Kalau buat seperangkat instrumen lengkap misalnya gong, gamelan yang jumlahnya lebih dari 10 itu perlu sebulan pengerjaan. Mulai dari proses pemotongan drum menjadi pelat, proses bentuk, pengelasan sampai finishing," jelas pria 53 tahun itu.
Soal harga, Nyoman tidak memasang angka yang tinggi karena sesuai dengan bahan. Paling murah mulai dari Rp 200-500 ribu sampai instrumen yang paling besar seharga Rp 1 juta.
(nor/hsa)