Suasana salah satu rumah produksi rindik di Desa Jehem, Kecamatan Tembuku, Bangli, begitu amat sejuk, Minggu sore (10/12/2023). Seorang pria paruh baya dari kejauhan terlihat telaten meraut bilah-bilah bambu yang sudah halus.
Bambu-bambu matang itu sebelumnya sudah dipotong berbentuk tabung dalam berbagai ukuran. Bagian tengah hingga pangkalnya sudah dibelah dan dirapikan bagian ujungnya.
![]() |
Bagian terpotong itulah akan menghasilkan beragam nada-nada indah. Potongan bambu itu dirangkai dengan tali pengikat hingga menjadi alat musik rindik. Proses itu dilakukan rutin setiap hari oleh pria berusia 65 tahun bernama I Wayan Sumarya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rindik Bali salah satu alat musik bambu yang mungkin sudah dikenal khalayak. Alat musik ini selain dipakai untuk mengiringi tarian, maupun upacara dan acara adat, juga bisa dipakai untuk acara penyambutan tamu.
Ditemui detikBali, Sumarya mengaku tengah menyelesaikan beberapa pesanan rindik. Di lahan seluas kurang lebih 1 are itu, bapak lima anak itu mengawali pekerjaannya dengan memilih bambu utuh alias belum dipotong. Bambu yang ia pakai berjenis tabah.
Sumarya menjelaskan bambu jenis tabah itu ia dapatkan dari berbagai daerah. Di antaranya Seraya Barat, Karangasem dan Goblek, Buleleng. Menurutnya, bambu yang dipakai haruslah sudah matang alias sudah berusia tua kecokelatan di rumpunnya.
"Jadi untuk pilih bambu tidak bisa yang masih hijau lalu kami tuakan. Harus yang sudah cokelat di pohon dan itu sulit dicari sekarang di daerah sini (Bangli). Alasannya karena supaya kuat, suaranya bulat. Jenisnya bambu tabah," tutur Sumarya di bengkel kerjanya, Minggu sore.
Sumarya bisa membuat rindik secara otodidak setelah puluhan tahun ia berkesenian di bidang seni tari joged. Sumarya adalah salah satu seniman tabuh atau gamelan rindik di salah satu kelompok joged bumbung di Bangli.
Dari sana, ia mengenal ritmik atau tembang rindik dan karakteristik bambu. Mulailah ia membuat rindik-nya sendiri ketika ia merantau ke wilayah Asah Goblek di pegunungan Buleleng sekitar tahun 1980-an.
"Saya belajar banyak di sana (Buleleng) karena lama. Saya memulai kesenian itu kan di Goblek juga. Akhirnya saya pulang ke Bangli, saya coba membuat rindik. Awalnya coba-coba dan keterusan sampai sekarang," sambungnya.
Ia menyebut tidak banyak orang yang mau melanjutkan produksi rindik di desanya. Walhasil, ia mengaku jumlah perajin rindik bisa dihitung jari, tidak lebih dari lima. Sebagai tujuan pelestarian, ia mendompleng sang anak untuk mau meneruskan usahanya.
"Di samping itu, untuk membuat rindik dengan suara bulat butuh kepekaan. Peka dengan karakter bambu, nada, dan itu seperti resep dapur. Kalaupun saya kasih tahu, belum tentu itu bisa ditiru orang lain," tegasnya.
Satu rindik, kata Sumarya, dikerjakan selama dua sampai tiga hari, dari awal sampai tahap finishing. Pertama, bambu yang dipilih harus yang tua/matang, dan berwarna coklat kehitaman. Bambu-bambu itu kemudian dipotong dengan beragam ukuran diameter dan panjang.
Perbedaan ukuran dan diameter itu menentukan tangga atau tingkatan nada dalam rindik. Misalnya ukuran bilah bambu yang besar dan panjang akan menghasilkan suara yang bulat dan bernada rendah, sedangkan yang kecil dan pendek hasilkan nada tinggi.
"Ada yang disebut slendro, pelog. Jadi disebutnya pentatonik, bukan nada musik internasional yang punya 7 nada. Di gamelan tradisional Bali itu ada 5 nada: nding, ndong, ndeng, ndung, ndang," jelasnya.
Uniknya, Sumarya tidak butuh alat khusus untuk menyetel agar semua rindik punya nada berstandar. "Sudah hafal tangga nadanya. Supaya tidak fals, paling ada contoh berapa jadi standarnya. Saat dibuat sudah tahu tinggi nadanya seberapa, potong rambut, dan merautnya sebagaimana," katanya.
Satu alat musik rindik ia jual dengan harga bervariatif. Mulai yang paling murah Rp 250 ribu, sampai yang paling mahal dengan material gagang kayu berukir stil Bali seharga Rp 2 juta. Produknya sudah dijual wilayah Sulawesi sampai ke negara di Asia, seperti Malaysia dan India.
(nor/hsa)