Siapa yang sangka 20 tahun berkarir di industri consumer goods, puncak karirnya di korporasi justru diperoleh di industri penerbangan? Veranita Yosephine Sinaga sendiri pun tak menyangka nasib membawanya menjadi CEO Airasia Indonesia.
Kehadirannya di industri penerbangan sekaligus membuat Vera, sapaan akrabnya, menjadi satu-satunya perempuan pemimpin maskapai penerbangan di Indonesia dan di Asia Pasifik. Kepada detikBali, Minggu (19/2/2023), Vera menceritakan tentang kisah inspiratifnya menjadi orang nomor satu maskapai besutan Tony Fernandes tersebut.
Mulanya, perempuan berdarah batak itu mendapat tawaran dari seorang teman untuk melamar posisi puncak di Airasia Indonesia. Meski pesimistis, Vera memberanikan diri menjajal dan bertemu langsung dengan Tony Fernandes.
Ia pun terbang dari Jakarta ke Kuala Lumpur. Di dalam kabin pesawat, pikirannya melanglang buana. Ia mempertanyakan keputusan nekatnya banting setir ke industri penerbangan. Lebih dari itu, Vera mempertanyakan kemampuannya untuk menduduki kursi pimpinanan maskapai berbiaya murah itu.
"Dalam perjalanan itu, saya melihat cabin crew, kapten. 'Gila apa ya saya ngelamar jadi CEO'. Tapi saya berpikir lagi, 'ah paling nggak diterima', 'ah kan nggak punya pengalaman', 'saya nggak bakalan lah masuk short list jadi kandidat', Ya saya mikir nggak rugi juga, sampai sana kan bisa foto sama Tony Fernandes, dapat tanda tangannya," ujarnya tertawa.
Ndilalah, Vera mendapatkan posisi itu. Tony Fernandes terkesan dengan penampilan perempuan lulusan ITB itu yang boleh dibilang apa adanya. Vera pun resmi menjadi CEO sejak Juli 2019.
Vera yang hobi mempelajari hal baru pun tertantang untuk menguliti industri penerbangan. Pelan tapi pasti, ia mulai asyik mengenyam manisnya bisnis penerbangan, yang dinilainya vital.
Sampai pandemi COVID-19 menyapa pada awal 2020. Persis sembilan bulan ia bergabung di Airasia Indonesia. Kepalanya pusing tujuh keliling ketika pemerintah membatasi mobilitas, termasuk menyetop penerbangan selama beberapa bulan.
"Saat itu saya langsung terpikir nasihat teman 'wah benar nih saya nggak punya pengalaman di industri penerbangan dan saya nggak punya pengalaman sebagai CEO. Nyesal? Nggak. Tapi tantangannya memang nggak kaleng-kaleng!" jelasnya.
Vera benar-benar kaget. Revenue ratusan miliar rupiah yang biasa dicetaknya, tersisa nol rupiah.
Bagaimana tidak? Pesawat dikandangi di era pandemi selama lebih dari enam bulan. Padahal, karyawan harus dibayar dan tagihan listrik harus dibayar.
Belum lagi, tumpukan utang dari penyewaan pesawat yang jumlahnya tidak kecil. "Revenue drop sangat-sangat jauh, sampai nol. Saya tidak punya opsi saat itu untuk tidak merumahkan karyawan," imbuhnya mengenang.
"Beruntung tidak ada PHK (pemutusan hubungan kerja) terhadap karyawan. Saya bicara kepada semua karyawan, pilot, saya terpaksa mengambil opsi untuk merumahkan sementara," lanjut Vera.
Opsi lain yang juga diambilnya adalah memangkas gaji karyawan dan gajinya sendiri. Tak tanggung-tanggung, gajinya terpangkas hingga 50 persen.
(BIR/gsp)