Berjibaku Tangani Sampah di Bali

Liputan Khusus Sampah di Bali

Berjibaku Tangani Sampah di Bali

Sui Suadnyana - detikBali
Senin, 08 Sep 2025 10:34 WIB
Sampah organik dimasukkan ke teba modern di Denpasar, Bali.
Foto: Sampah organik dimasukkan ke teba modern di Denpasar, Bali. (Dok. DLHK Kota Denpasar)
Denpasar -

Gangsar Parikesit dan istrinya, Mardho Tilla (32), rongseng. Sudah beberapa hari ke belakang, tukang yang biasa mengangkut sampah rumah tangganya tak kunjung datang. Sampah pun, organik dan anorganik, menumpuk di rumahnya.

"Sempat bingung juga buang sampah di mana karena dilarang buang ke TPST," ujar pria berusia 36 tahun itu kepada detikBali, Selasa (19/8/2025).

Sebenarnya, Gangsar dan keluarganya sudah rajin memilah sampah sejak setahun terakhir. "Mulai terbiasa sejak ada imbauan pemilahan sampah dari sumber. Saat itu, kami tinggal di Jalan Jaya Giri VII, sekitar tahun lalu itu kami mulai memilah sampah. Dari kewajiban tersebut, kami memaksa diri untuk memilah sampah. Toh juga baik untuk lingkungan," ujarnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Gangsar menunjukkan lubang biopori di area rumahnya di Denpasar.Gangsar menunjukkan lubang biopori di area rumahnya di Denpasar. Foto: Fabiola Dianira/detikBali

Pengolahan sampah organik juga dilakukan Ayu Afria, pekerja swasta yang menetap di sebuah kos daerah Umalas, Kerobokan. Sedikit berbeda dengan Gangsar, sampah organik seperti sisa sayuran dan makanan ia berikan kepada tanaman dan sembilan kura-kura peliharaannya.

"Yang organik dijadikan pupuk tanaman karena juga jarang masak. Kadang limbah sayurannya dikasih ke hewan piaraan kura kura," ujar wanita 34 tahun itu saat ditemui detikBali sembari bekerja, Selasa (19/8/2025).

ADVERTISEMENT

Sampah organik hanya dibuang dua hingga tiga kali dalam sebulan karena ia jarang memasak. Sampah yang paling dominan berasal dari botol plastik dan kaca dari minuman yang dibelinya.

Sementara untuk sampah anorganik ia buang di tempat sampah yang sudah disediakan kos-kosan. Ia tidak perlu membayar iuran sampah lagi, sebab uang sampah sudah menjadi satu dengan uang kos per bulannya.

Namun, tidak semua warga memilah sampah seperti Gangsar dan Ayu. Gema Leksono Ardhi, seorang perantau dari Yogyakarta, menceritakan pengolahan sampah di kosnya yang berbeda. Di kosnya, sampah dari 30 kamar dikumpulkan lalu dibakar di halaman belakang. Uang iuran sampah tidak diperlukan.

"Semua sampah dikumpulin dulu, terus dibuang ke belakang. Belakang halaman kosan," jelas pria yang juga akrab dipanggil Vincent saat ditemui di kosnya Jalan Kubu Bias, Pemecutan Klod, Denpasar Barat.

Gema sendiri kurang memahami alasannya, karena sejak awal aturan dari pemilik kos memang seperti itu. Padahal, lahan di sekitar kos masih terlihat sangat cukup untuk membuat teba modern atau biopori. Namun, pemilik tetap memilih untuk membakar sampah.

Warga di Bali memutar otak untuk menyelesaikan sendiri sampah rumah tangganya semenjak kebijakan baru pemerintah provinsi yang melarang TPA Suwung menerima sampah organik sejak 1 Agustus 2025. Kebijakan ini juga menimbulkan polemik karena belum semua warga memiliki fasilitas pengolahan sampah sendiri.

Gubernur Bali, Wayan Koster, juga mengeluarkan pernyataan yang meminta masyarakat mengurus sampah sendiri beberapa waktu lalu. Pernyataan itu pun menuai beragam tanggapan. Sebagian besar warga menilai Pemprov Bali juga bertanggung jawab penuh terhadap masalah sampah.

Kondisi terkini TPA Suwung pada Juli 2025.Foto: Kondisi terkini TPA Suwung pada Juli 2025. (dok. DLHK Bali)

Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup (DLHK) Bali, I Made Rentin, menjelaskan solusi yang didorong adalah pembangunan teba modern, yakni tempat pengolahan sampah berbasis rumah tangga atau desa. Anggarannya diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes).

"Denpasar tahun ini siap membangun 4.700 teba modern di beberapa fasilitas umum dan fasilitas sosial. Jika di rumah warga terkendala luasan lahan," ujar Rentin.

Selain itu, pemerintah juga menerbitkan Surat Edaran Nomor 9 Tahun 2025 tentang Gerakan Bali Bersih Sampah. Aturan ini menegaskan sektor hotel, restoran, dan kafe wajib mengelola sampah secara mandiri.

"Sangat banyak hotel dan restoran dan kafe yang sudah melaksanakan hal ini," tutur Rentin.

Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Udayana (Unud), I Gusti Bagus Wijaya Kusuma, menilai teba modern bukanlah solusi mengatasi sampah untuk jangka waktu panjang. Bahkan, menurutnya, hal itu akan menimbulkan masalah baru berupa pencemaran lingkungan.

"Teba modern itu kan di bawahnya tanah. Sampah organik yang bercampur sisa-sisa makanan menyebabkan terjadinya dekomposisi pada sampah organik yang berakibat terbentuknya leached. Leached ini akan masuk ke tanah dan mencemari dasar dari teba modern," jelasnya.

Pembaca, detikBali merangkum kisah-kisah warga dan berbagai pemangku kepentingan di Bali yang berjibaku dalam penanganan sampah. Selamat membaca!

1.

2.

3.

4.

5.

6.




(hsa/hsa)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads