Putar Otak Warga Bali Urus Sampah Sendiri

Liputan Khusus Sampah di Bali

Putar Otak Warga Bali Urus Sampah Sendiri

Fabiola Dianira - detikBali
Kamis, 28 Agu 2025 07:01 WIB
Gangsar menunjukkan lubang biopori di area rumahnya di Denpasar.
Foto: Gangsar menunjukkan lubang biopori di area rumahnya di Denpasar. (Fabiola Dianira/detikBali)
Denpasar -

Gangsar Parikesit dan istrinya, Mardho Tilla, rongseng. Sudah beberapa hari ke belakang, tukang sampah yang biasa mengangkut sampah rumah tangganya tak kunjung datang.

Sampah pun, organik dan anorganik menumpuk di rumahnya. "Sempat bingung juga buang sampah di mana karena dilarang buang ke TPST," ujar pria berusia 36 tahun itu kepada detikBali, menceritakan kembali apa yang dia rasakan ketika Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali hendak menutup Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Suwung untuk sampah organik pada 1 Agustus lalu.

Kebingungan yang sama juga dialami sejumlah warga di Jalan Letda Reta, Desa Dangin Puri Kelod, Denpasar. Sebenarnya, Gangsar dan keluarganya sudah rajin memilah sampah sejak setahun terakhir.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Mulai terbiasa sejak ada imbauan pemilahan sampah dari sumber. Saat itu kami tinggal di Jalan Jaya Giri VII, sekitar tahun lalu itu kami mulai memilah sampah. Dari kewajiban tersebut, kami memaksa diri untuk memilah sampah. Toh juga baik untuk lingkungan," ujarnya saat ditemui detikBali, Selasa (19/8/2025).

ADVERTISEMENT
Lubang biopori di sekitar rumah Gangsar.Lubang biopori di sekitar rumah Gangsar. Foto: Fabiola Dianira/detikBali

Sebelumnya, Gubernur Bali Wayan Koster gencar mengampanyekan penanganan sampah dimulai dari hulu. Maka, setiap rumah tangga wajib mengurus sampah mereka sendiri. Terutama sampah-sampah organik.

Gangsar bersama 10 rumah di lingkungannya kini terbiasa memilah sampah organik dan anorganik. Sampah anorganik diangkut tukang sampah tiga kali sepekan dengan biaya kolektif Rp 20 ribu. Sementara untuk sampah organik, ia memanfaatkan lahan terbatas dengan membuat lubang biopori. Walaupun harus memikirkan agar tidak berdekatan dengan sumur yang ditakutkan akan mencemari air.

Awalnya ia membuat biopori terinspirasi dari tetangganya yang sudah membuat 3 lubang biopori. Tetangganya pun juga membantunya membuat 1 lubang biopori sedalam 1,5-2 meter yang dipakai untuk 2 keluarga.

"Sampah organik dari rumah dicacah istri saya sebelum dibuang ke biopori. Tujuannya agar bisa memuat sampah lebih banyak. Lubang biopori itu dipakai dua keluarga," ujar karyawan swasta tersebut.

Jika sampah sudah mulai terurai mereka isi lagi biopori tersebut dengan sampah organik. Selain itu, sang istri yang berjualan nasi kuning juga memanfaatkan pot-pot tanaman untuk menampung sisa makanan bahkan telah membuat dua wadah kompos. Ke depan, keluarga ini berencana memelihara maggot (larva) dan ayam agar seluruh sampah organik bisa diolah tuntas di rumah.

"Selain menggunakan biopori, istri juga memperbanyak pot di rumah yang digunakan untuk membuang sampah organik dengan jumlah yang pas ke dalam pot-pot tersebut. Bahkan, kami mulai berencana untuk memelihara maggot atau ayam sehingga sampah organik benar-benar habis di rumah tidak dibawa ke TPST maupun TPA," jelasnya.

Mardho Tilla (32), istri Gangsar, mengungkapkan penggunaan biopori ini sebenarnya sanggat membantu mengurangi sampah rumah tangga mereka dengan modal yang sedikit, tapi terhambat keterbatasan lahan.

"Kalau misalkan saya bisa bikin banyak sebenarnya bagus, cuma kan karna ini keterbatasan lahan. kalo punya lahan yang cukup sebenernya itu jauh lebih bagus daripada buang sampah ke tukang sampah. karna tempat kami kurang memenuhi ya kita pakainya sedaruratnya saja," ujar Tilla, sapannya.

Sejumlah rumah kontrakan di Jalan Letda Reta, Dangin Puri Kelod, Denpasar, yang secara swadaya membuat lubang biopori.Sejumlah rumah kontrakan di Jalan Letda Reta, Dangin Puri Kelod, Denpasar, yang secara swadaya membuat lubang biopori. (Foto: Fabiola Dianira/detikBali)

Ia berharap masyarakat tidak langsung menolak peraturan memilah sampah dari sumbernya. Di sisi lain, ia menilai pemerintah juga lebih gencar melakukan edukasi dan sosialisasi mengenai pengolahan sampah organik dengan berbagai macam cara, dan lebih memperhatikan aturan tentang penolakan sampah organik yang tiba-tiba.

"Sulit di awal, tapi lambat laun akan terbiasa. Dengan adanya kewajiban tersebut, kita tanpa sadar juga akan lebih mencegah produksi sampah," harapnya. "Bisa gencarkan lagi sosialisasi perihal membuat biopori, teba modern, maupun penggunaan hewan peliharaan seperti ayam atau ikan yang bisa menjadi pengurai sampah organik seperti sisa makanan," sambung perempuan asal Bukittinggi, Sumatera Barat, itu.

Sampah Organik Dijadikan Pupuk

Pengolahan sampah organik juga dilakukan Ayu Afria, pekerja swasta yang menetap di sebuah kos daerah Umalas, Kerobokan. Sedikit berbeda dengan Gangsar, sampah organik seperti sisa sayuran dan makanan ia berikan kepada tanaman dan sembilan kura-kura peliharaannya.

"Yang organik dijadikan pupuk tanaman karena juga jarang masak. Kadang limbah sayurannya dikasih ke hewan piaraan kura kura," ujar wanita 34 tahun itu saat ditemui detikBali sembari bekerja, Selasa (19/8/2025).

Sampah organik hanya dibuang dua hingga tiga kali dalam sebulan karena ia jarang memasak. Sampah yang paling dominan berasal dari botol plastik dan kaca dari minuman yang dibelinya.

Sementara untuk sampah anorganik ia buang di tempat sampah yang sudah disediakan kos-kosan. Ia tidak perlu membayar iuran sampah lagi, sebab uang sampah sudah menjadi satu dengan uang kos per bulannya.

"Anorganiknya dikumpulkan seperti botol plastik, kardus, botol kaca, dan lain sebagainya. Saya masukkan ke plastik sampah. Saat membuang saya taruh di samping tempat sampah. Tidak lama kadang diambil pemulung langsung," jelas perempuan lajang tersebut.

Ayu mengaku sudah setahun membiasakan diri memilah sampah meski fasilitas kos hanya menyediakan tempat sampah umum.

Dari hal kecil yang telah ia lakukan, ia mempunyai harapan besar untuk pengolahan sampat terutama kepada pemerintah mulai dari transparansi dan prioritas penggunaan dana pengelolaan sampah, perlunya pemerintah menggandeng NGO yang fokus pada isu sampah, hingga meningkatkan kepedulian terhadap pemulung yang berperan penting dalam pemilahan.

Sampah sayuran yang dijadikan pupuk oleh Ayu Afria.Sampah sayuran yang dijadikan pupuk oleh Ayu Afria. (Foto: Dok. Pribadi Ayu Afria)

"Selama ini tarikan wisatawan yang awal mulanya untuk pengelolaan sampah dan kebudayaan juga tidak ada transparansi ke mana uang itu dialirkan," harap perempuan berambut ikal itu.

Selain itu, pemerintah diminta menagih tanggung jawab industri terkait kemasan produknya melalui dana CSR, serta memperbanyak fasilitas tempat sampah standar di kawasan padat penduduk agar sampah tidak tercecer.

Membakar Sampah

Namun, tidak semua warga memilah sampah seperti Gangsar dan Ayu. Gema Leksono Ardhi, seorang perantau dari Yogyakarta, menceritakan pengolahan sampah di kosnya yang berbeda. Di kosnya, sampah dari 30 kamar dikumpulkan lalu dibakar di halaman belakang. Uang iuran sampah tidak diperlukan.

"Semua sampah dikumpulin dulu, terus dibuang ke belakang. Belakang halaman kosan," jelas pria yang juga akrab dipanggil Vincent saat ditemui di kosnya Jalan Kubu Bias, Pemecutan Klod, Denpasar Barat.

Sampah-sampah yang dibakar di kos-kosan Gema.Sampah-sampah yang dibakar di kos-kosan Gema. Foto: Fabiola Dianira/detikBali

Gema sendiri kurang memahami alasannya, karena sejak awal aturan dari pemilik kos memang seperti itu. Padahal, lahan di sekitar kos masih terlihat sangat cukup untuk membuat teba modern atau biopori. Namun, pemilik tetap memilih untuk membakar sampah.

"Kurang tahu, mungkin mereka pengen lebih hemat biaya kali ya. Jadi ya udah dibakar bakar aja gitu," jelasnya saat ditanyai alasan pembakaran sampah di kosnya.

Gema mengaku sampah rumah tangganya lebih banyak berupa sisa makanan, tapi ia belum berniat mengolahnya sendiri sebab ia belum terlalu mengerti caranya dan di bayangannya memilah sampah akan merepotkan.

"Kayaknya akan berjalan gini aja. Karena nggak mau repot," ungkapnya.

Meski begitu ia paham bahwa membakar sampah memengaruhi kesehatan. Ia sempat menyarankan penggunaan insinerator agar pembakaran tidak menghasilkan asap.

"Kalau misalnya metode yang dibakar itu, namanya insinerator. Dia dibakar tapi yang tanpa asap. Jadi dia kayak buat tungku gitu, tungku khusus nih. Terus sampahnya masukin disitu aja dibakar. Dan dia itu nggak ngeluarin asap jadi nggak ganggu gitu loh. Kayaknya dan lebih efisien," jelasnya.

Selain itu, Gema juga berharap pemerintah lebih gencar mengadakan penyuluhan ke desa-desa, karena ia menyadari masih banyak pengolahan sampah yang kurang tepat akibat minimnya edukasi.

Kos-kosan tiga lantai yang ditempati Gema.Kos-kosan tiga lantai yang ditempati Gema. (Foto: Fabiola Dianira/detikBali)

Sore itu, ibu kos Gema yang sedang berjaga mengaku sudah lima tahun rutin membakar sampah, meski bergitu tidak pernah ada warga yang memprotes asap yang mengganggu karena sebagian besar warga di situ membakar sampah.

"Sama-sama bakar dah orang sini ini. Yang sebelah bakar juga. Yang di sana bakar juga. Nggak ada (yang protes) soalnya sama. Kita sama kan. Sana bakar, sini bakar, sana bakar. Jadi nggak ada yang komplain," jelas perempuan 48 tahun itu.

Saat asap dari kos lain mengenai daerahnya, ia pun juga tidak protes karena ia melakukan hal yang sama.

"Ya kena asapnya. Tapi ya diem aja. Kena tuh kalau anginnya pas ke barat. Kan tergantung angin," imbuhnya.

Menurut dia, yang sering dibakar adalah daun kering dan sisa makanan, sementara botol kaca dan kardus ia pisahkan untuk dijual ke tukang rongsokan.

Halaman 2 dari 4


Simak Video "Video: TPA Galuga Bogor Longsor, Satu Orang Tewas Tertimbun Sampah"
[Gambas:Video 20detik]
(hsa/mud)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads