Penagihan royalti lagu atau musik di tempat makan hingga tempat hiburan membuat gaduh masyarakat. Musababnya, pemutaran musik atau lagu dianggap sudah lumrah dilakukan. Bahkan, tidak sedikit yang kaget apabila memutar musik atau menyanyikan lagu di tempat usaha wajib membayarkan royalti tahunan.
Akademisi Fakultas Hukum (FH) Universitas Gadjah Mada (UGM), Laurensia Andrini, mengatakan kegaduhan ini timbul dari dua belah pihak, yakni Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dan pelaku usaha. LMK selaku pihak yang mempunyai wewenang atas penarikan royalti belum transparan. Sementara itu, pelaku usaha juga belum memiliki kesadaran normatif dalam menyikapi permasalahan royalti.
"Sebenarnya, kalau menurut saya, ini permasalahan sistemik. Ketidaktransparanan ini bisa disebabkan karena tidak adanya mekanisme transparansi yang ditetapkan. Di sisi lain, pengguna sendiri juga tidak merasa hal ini adalah sebuah kewajiban," kata perempuan yang akrab disapa Ririn itu dikutip dari detikEdu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, jelas Ririn, menetapkan pencipta dan pemilik hak terkait atas imbalan ketika karya mereka yang digunakan secara komersial. Karya yang dimaksud termasuk buku, lagu, karya lukisan, karya fotografi, dan sebagainya.
Pada dasarnya, tutur Ririn, setiap karya cipta memiliki hak royaltinya. Seorang pencipta lagu berhak atas dua hal, pertama hak moral yang berkaitan dengan hak untuk diakui sebagai pencipta lagu.
Sebuah lagu, dengan adanya hak moral, tidak boleh sembarangan dimutilasi, diganti liriknya, diplesetkan tanpa seizin pencipta lagunya. "Jadi, kenapa seseorang berhak atas royalti, utamanya karena dia punya hak cipta terhadap lagu yang dia ciptakan," jelas Ririn.
Selain moral, royalti ini pun terkait dengan hak ekonomi. Walhasil, apabila sebuah lagu diputar di tempat publik hingga dipentaskan, pencipta lagu berhak mendapatkan royalti.
Di sisi lain, pihak yang memakai karya cipta untuk kebutuhan komersial wajib untuk melaporkan frekuensi pemutaran lagu dalam satu bulan dan dibayarkan royaltinya kepada LMKN. "Jadi, secara normatif pelaku usaha yang melaporkan," jelas Ririn.
Ririn menilai isu yang membuat permasalahan ini mencuat ke publik adalah tidak sampainya royalti ke musisi atau pun pencipta lagu. Bagi Ririn, penyelesaian atas perdebatan royalti lagu memang tidak mudah.
Semenjak ramainya kasus terkait royalti, terjadi pembaruan pada aturan-aturan yang mengatur hak cipta. Salah satu Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) di Indonesia telah menempuh judicial review. Selain itu, juga terdapat Rancangan Undang-Undang yang diajukan ke DPR. Peraturan Menteri Hukum (Permenkum) Nomor 27 Tahun 2025 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak juga diterbitkan.
Artikel ini telah tayang di detikEdu. Baca selengkapnya di sini!
(iws/iws)